100 Remah Hikmah (91): Mencangkul Langit


Ilustrasi: Foto pixabay


Penulis: Salahuddin Ibnu Sjahad*

EDUKASIA.ID - Seorang teman lelaki yang memang sejak usia SMP terbiasa menjalani puasa harian (alias hanya libur puasa sebanyak lima hari dalam setahun) suatu ketika terpilih menjadi ketua pondok, dan apesnya dia tahu bahwa saya jago ngetik sehingga diplotlah saya menjadi sekretarisnya selama satu tahun periode kepengurusan. 

Apes yang kedua, saya benar-benar gak bisa melupakan momen-momen kepengurusan dalam mendampingi dia. Bukan karena apa-apa, tapi memang dialah yang paling menghargai kompetensi saya sebagai manusia secara utuh. 

Saya dihargai sebagai santri, tukang lembur, konseptor, organisator, di samping keadaan saya manusia biasa yang penuh khilaf termasuk pendiam dan ahli ngantuk. 

Dia ahli dalam mempraktekkan teori yang dulu dipopulerkan oleh Multatuli: memanusiakan manusia. Apes selanjutnya, saya benar-benar tidak bisa mengimbangi dia dalam berbagai hal, termasuk urusan kerajinan dalam nderes Al-Qur’an dan juga berorasi. 

Satu lagi, saya gak bisa nyopir, sedangkan dia pernah menjadi driver Kudus-Banyuwangi pulang pergi tanpa pengganti. Satu hal yang saya tiru dan amalkan dari kebiasaannya adalah tawakkal penuh ketika otak atau hati kita sudah tak bisa mencerna keputusan Tuhan. 

Ketika usaha yang telah dilakukan dengan berbagai cara tak membuahkan hasil yang diharapkan, percayalah Allah tak pernah tidur. Maka yang perlu kita lakukan hanyalah satu: lebih giat dalam mencangkul langit. 

Iya. Itulah istilah yang dikenalkan kepada Saya. Mencangkul langit sama artinya dengan melobi gusti Allah. Bisa dengan doa, istighotsah, mujahadah, wasilah, atau ritual-ritual ibadah lain yang tujuan utamanya adalah taqarrub kepada Sang Maha Penentu Takdir. 

Dengan kita makin mendekat kepada Allah, tentunya hati akan semakin bening dan bisa saja petunjuk Allah akan dengan mudah di sela-sela pikiran yang makin menyempit karena hampir putus asa.

Maka secara otomatis tak hanya kalah start dengan teman saya tadi, tapi juga keteteran di tengah jalan. Selain dia dekat dengan Allah berkat poso awan melek dalu yang diistiqomahi sampai kini, masih ditambah kedekatannya yang cair dengan masyayikh. 

Segala jenis guyonan dan gasakan akan mengalir begitu saja dari lisan yai jika yang dihadapi adalah teman saya itu. Suatu hal yang tak pernah beliau lakukan terhadap lurah pondok periode manapun, sebelum dan sesudahnya. 

Dan saya yakin sampai sekarang (setelah sekian tahun boyong dari pondok) dia masih berbakat sebagai “petani”. 

Saya yakin dia tak pernah bosan mencangkul langit. 

Sementara saya masih asyik dengan hobi lama: tertidur semalaman di atas kursi.



**** * ****

*Salahuddin Ibnu Sjahad atau Mohammad Salahuddin Al-Ayyubi, seorang guru mata pelajaran Ilmu Tafsir di MAN Sumenep, peraih beasiswa studi S2 melalui Beasiswa Indonesia Bangkit di UIN Sunan Kalijaga. Tulisan ini merupakan kompilasi statusnya di Facebook yang kemudian dijadikannya buku berformat PDF, diberinya judul "100 Remah Hikmah: Secuil Cerita dan Sudut Pandang Baru dalam Menikmati Rutinitas Kehidupan."

buttons=(Accept !) days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top