Menunggu Peran NU dalam Menjaga Tradisi Intelektual Islam di Tengah Disrupsi Nilai

Redaksi
0
Ilustrasi. Foto nungaliyan.com.

Penulis: Agus Khunaifi (Pengamat Sosial Keagamaan)

EDUKASIA.ID
- Sepanjang sejarah bangsa Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi kemasyarakatan Islam yang mampu memainkan peran strategis secara elegan dalam berbagai fase perjalanan dinamika bangsa. Sejak berdirinya pada 1926 oleh para ulama besar seperti Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy‘ari, K.H. Wahab Hasbullah, dan K.H. Bisri Syansuri, NU hadir bukan hanya sebagai wadah keagamaan, tetapi juga sebagai kekuatan sosial-politik yang turut membentuk wajah keislaman dan keindonesiaan (Bruinessen, 1994; Fealy, 2009)

Pada masa awal, peran strategis NU tampak dalam responsnya terhadap persoalan keagamaan global, khususnya melalui Komite Hijaz. Saat itu muncul ancaman dari gerakan Wahabi yang berupaya menghapus situs-situs bersejarah di Tanah Suci, termasuk makam Nabi Muhammad SAW. Tokoh NU seperti K.H. Wahab Hasbullah tampil sebagai delegasi penting yang menyuarakan penolakan terhadap upaya tersebut, sekaligus menunjukkan kepedulian NU terhadap pelestarian tradisi Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Noer, 1982; Dhofier, 2011)

Memasuki masa pra-kemerdekaan, NU berkontribusi besar dalam perjuangan nasional melalui jalur pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan umat. NU tidak hanya melahirkan kesadaran kebangsaan, tetapi juga menanamkan semangat keislaman yang moderat dan cinta tanah air. Tokoh seperti K.H. Abdul Wahid Hasyim berperan aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dengan menegaskan pentingnya nilai-nilai keislaman yang sejalan dengan semangat kebangsaan (Azra, 2002). Pada fase ini, NU menanamkan kesadaran bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman (hubbul wathan minal iman).

Pada masa Orde Baru, NU berperan sebagai kekuatan moral dan sosial yang menyeimbangkan dominasi pemerintah yang bersifat sentralistik dan militeristik. Salah satu kontribusi monumental NU adalah penerimaan terhadap Pancasila sebagai dasar negara. NU secara tegas menegaskan bahwa bentuk negara Pancasila dan NKRI adalah final serta sejalan dengan nilai-nilai Islam. Di bawah kepemimpinan K.H. Achmad Siddiq dan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), NU menegaskan penerimaannya terhadap Pancasila sebagai asas tunggal organisasi pada tahun 1984 (Wahid, 1987; van Bruinessen, 2018). Keputusan monumental ini meneguhkan posisi NU sebagai penjaga integrasi bangsa dan pelopor Islam moderat di Indonesia.

Pada masa reformasi, NU kembali memainkan peran penting dalam membangun kesadaran masyarakat sipil (civil society). Tokoh sentral seperti K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sempat menjadi presiden RI keempat menggagas konsep “Pribumisasi Islam” yang bertujuan menghadirkan Islam yang ramah terhadap budaya lokal dan tidak berjarak dengan realitas sosial bangsa (Barton, 2002). Di tengah krisis politik dan identitas, NU tampil sebagai perekat kebangsaan yang mempromosikan demokrasi, pluralisme, dan toleransi.

Selepas reformasi, ketika bangsa Indonesia menghadapi ancaman radikalisme dan ekstremisme, NU kembali menunjukkan relevansinya. Fenomena bom bunuh diri di Bali (2002), Hotel JW Marriott (2003), hingga Gereja Surabaya (2018) menjadi ujian bagi bangsa. Dalam situasi tersebut, NU tampil dengan gerakan Islam moderat dan rahmatan lil‘alamin, yang menolak kekerasan atas nama agama. Tokoh seperti K.H. Said Aqil Siroj secara tegas memperjuangkan Islam yang berlandaskan kasih sayang dan toleransi (Siroj, 2015; Hosen, 2019).

Namun, memasuki abad kedua, peran strategis NU tampak mengalami kegamangan. Alih-alih memperkuat posisi sebagai penjaga moral bangsa, NU kini justru dihadapkan pada berbagai persoalan internal dan eksternal yang menimbulkan tanda tanya publik. Beberapa isu, seperti pengelolaan tambang, dugaan keterlibatan dalam kuota haji, hingga fenomena pengakuan keturunan (dzurriyah) Nabi, memunculkan persepsi bahwa NU belum sepenuhnya hadir sebagai penengah dan pemberi arah moral bagi umat (Tempo, 2024; Kompas, 2025).

Fenomena klaim keturunan Nabi Saw yang marak di tengah masyarakat akhir-akhir ini, sangat meresahkan dan menimbulkan kebingungan teologis di tengah umat islam. Sayangnya, isu ini cenderung dibiarkan tanpa klarifikasi yang komprehensif, baik dari pemerintah maupun dari ormas keagamaan besar seperti NU. Padahal, secara historis dan teologis, NU memiliki tanggung jawab moral dan intelektual untuk memberikan pencerahan kepada umat dalam menghadapi isu-isu keagamaan yang sensitif semacam ini (Zuhri, 2014).

Memasuki abad kedua, masyarakat menaruh harapan besar agar NU kembali meneguhkan jati diri dan peran strategisnya sebagai penjaga moral bangsa, pelindung umat, dan penafsir Islam yang kontekstual. Dalam dunia yang semakin kompleks dan sarat dengan disrupsi nilai, NU diharapkan tidak hanya hadir sebagai kekuatan politik, tetapi juga tampil sebagai kekuatan moral dan intelektual yang menuntun arah peradaban bangsa. Karena sejatinya, sebagaimana amanat pendiri-pendirinya, NU bukan sekadar kumpulan ulama, melainkan penjaga tradisi intelektual Islam, pencerah nurani umat, dan penjaga warisan Islam moderat dan membumi (Fealy & White, 2012).

Posting Komentar

0 Komentar

Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top