Mengenal Toxic Productivity: Sebuah Obsesi Pengembangan Diri

ilustrasi toxic positivity. dok. ist


“Don’t stop when you’re tired. Stop when you’re done” 

Quote tersebut sepertinya tidak lagi asing bagi sebagian orang, terlebih bagi kaum remaja akhir hingga dewasa awal. Berbagai kegiatan dilakukan untuk mengisi waktu luang di sela-sela pekerjaan atau perkuliahan. Tentunya terlihat keren melihat kawan, saudara, kerabat atau bahkan diri sendiri dapat produktif dalam berbagai kegiatan.

Akan tetapi, kalimat tersebut nyatanya memaksa diri kita untuk terus menerus melakukan kegiatan, bahkan saat lelah. Terlalu banyak kegiatan nyatanya dapat membuat seseorang jatuh dalam kondisi toxic productivity. Dr. Julie Smith, seorang psikolog klinis dari Hampshire, Inggris mengemukakan bahwa toxic produktivity adalah obsesi untuk mengembangkan diri dan merasa selalu bersalah jika tidak bisa melakukan banyak hal. 

Dalam sebuah Jurnal Psikologi Binus edisi Juli 2022, Hidup produktif itu perlu, akan tetapi tidak harus mengesampingkan hal-hal yang menyangkut kebutuhan dasar manusia seperti makan, minum, istirahat, interaksi sosial dan kenyamanan pribadi (well-being)

Ketika upaya membuat hidup ini menjadi produktif menjadi berlebihan sampai harus merasa bersalah ketika hendak berhenti, istirahat dan rehat barang sejenak maka upaya menghasilkan produktivitas yang semacam itu telah menjadi apa yang disebut dengan toxic

CIMSA (Center for Indonesian Medical Students' Activities) menyebutkan ada tiga ciri seseorang dikatakan toxic produktivity pertama, bekerja berlebihan sampai mengabaikan kesehatan atau berkurangnya interaksi terhadap lingkungan sosial. Biasanya, ciri ini seringkali dikeluhkan oleh orang-orang sekitarnya. Kedua, ekspektasi berlebih pada diri sendiri dengan menempatkan standar yang tinggi, sehingga kerapkali pelaku toxic positivity merasa kurang dan tidak puas atas pencapain yang telah dia terima. Ketiga, Merasa kesulitan untuk beristirahat ysng ditandai dengan munculnya penyesalan saat istirahat setelah seharian bekerja atau berkegiatan.

Ketiga ciri tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja, tekanan berlebih kepada diri sendiri membawa seseorang ketidakpuasan yang akan memicu kondisi stress dan dapat membahayakan status mental. 

Membuat tujuan hidup yang realistis dan fleksibel dalam berbagai keadaan, beristirahat jika merasa lelah saat beraktivitas, terapkan prinsip mindfullness dengan menerima keadaan sekeliling seperti kebutuhan untuk makan, ke kamar mandi, tidur, bersosial dan lain-lain. 

Selain itu, memberikan aturan "batas" dan rasa "cukup" kepada diri sendiri juga bisa meminimalisir terjadinya toxic positivity. Seperti belajar cukup 1-2 jam dalam sehari atau tidak memainkan handphone di meja makan. 

Konsisten untuk menjadi versi terbaik dari diri kita dengan melakukan sesuatu yang produktif adalah hal yang wajar. Namun, setiap orang memiliki batasan. Jangan sampai apa yang kita harapkan berdampak baik, malah berefek sebaliknya bagi diri kita. 


buttons=(Accept !) days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top