Ilustrasi. Foto Unsplash.
Penulis : Mohammad Salahuddin Al-Ayyuubi, M.Ag*
EDUKASIA.ID - Suatu ketika, Prof Teguh, Guru Besar Filsafat Agama UIN SATU Tulungagung , pernah bertanya dalam panggilan WA-nya, jauh sebelum beliau dapat gelar profesornya tahun 2025 ini, "Mengapa tak jadi dosen saja?".
Saya menjawab setengah berkelakar, tapi juga setengah benar, "Bagi tugas, Kiai." Telponan itu memang beliau yang mulai karena ada satu keperluan, beberapa bulan setelah menyadari kontak saya sudah tak ada di grup WA sejak pindah haluan dari staf kampus ke guru.
Memang saya left grup silent saja karena menyadari diri ini hanya staf biasa yang tak berdampak apa-apa, dan takkan dicari siapa-siapa. Eh, ternyata beliau yang karakternya humble dan supel itu termasuk yang mencari remahan rengginang ini.
Hal yang mengakrabkan kami tentu saja karena pernah segrup WA Ma'had Al-Jami'ah PTKIN se-Indonesia sewaktu saya masih nyetaf di Ma'had al-Jami'ah IAIN Kudus 2018–2019 lalu dan diskusi kami nyambung saat beberapa kali tatap muka. Di samping fakta bahwa paman saya, Ulil Abshor, salah satu staf kampus UIN SATU, ternyata juga teman ngopi beliau di sana.
"Bagi tugas" adalah jawaban template yang paling sering saya gunakan, karena memang yang bertanya hal sama tak hanya Prof. Teguh, baik ketika saya masih lulusan S1, apalagi ketika saya sudah menamatkan S2.
Bedanya, Prof. Teguh yang waktu itu menjabat ketuanya para mudir Ma'had PTKIN se-Indonesia paham betul dengan kelakar saya itu, karena jawaban itu seakan menembus jantung permasalahan yang terjadi di hampir semua kampus islam saat ini. Apa itu?
Kualitas input kampus islam menurun drastis. Kalau zaman dulu, mahasiswa baru jurusan rumpun agama hampir semua bisa baca kitab kuning, atau mahir bercakap bahasa asing. Tentu kualitas baca Al-Qur'annya juga sudah di atas standar. Belakangan, sebagian besarnya malah kebalikannya.
Baca huruf Arab yang sudah ada harakatnya saja masih belum lancar. Satu dua maba malah terdeteksi menulis huruf Arab dari kiri. Sungguh ajaib. Bagaimana mereka bisa menjadi penerus Fazlur Rahman, atau minimal setara dengan mendiang Azyumardi Azra?
Imbasnya, sebagian kampus bergerak dengan ciri khas dan kapasitas masing-masing. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dengan kewajiban maba digembleng bahasa dan Qur'annya saat bermukim setahun di ma'had, sedangkan UIN SATU, sebab keterbatasan asrama, mewajibkan maba tahun pertama digembleng program diniyah yang guru-gurunya diminta dari alumni pondok besar seperti Lirboyo.. Hasilnya? Lumayanlah. Tapi itu tidak bisa mengurai masalah yang sudah mengakar jauh.
Faktanya, itu semua terjadi karena kualitas output SMA/SMK/MA menurun. Banyak madrasah, dari jenjang MI, MTs, hingga MA yang memprioritaskan nilai akademik siswanya, tetapi menomorsekiankan (atau bahkan tidak mengurus sama sekali) kemampuan baca tulis Al-Qur'an calon alumninya.
Yang ada malah "main voli": kata madrasah itu tugas TPQ dan diniyah, kata diniyah sekarang jarang remaja mau ngaji karena di sekolah sudah lelah masuk lima hari full, akhirnya melempar tanggung jawab ke keluarga.
Keluarga gak mau kalah melakukan smash telak: kami kan nggak bisa mengajari ngaji, sibuk kerja, atau apalah, dan berakhir pada menuntut hasil karena merasa sudah ikut membayar iuran pendidikan.
"Bapak kan sudah tahu akar permasalahannya. Jadi, bagi tugas saja, ya. Saya membenahi yang di sini. Kalau sudah bagus output kami, dosen-dosen seperti Bapak juga kan yang senang.." Mendengar jawaban pamungkas saya itu Prof Teguh terkekeh.
Bukan saya menolak sama sekali untuk mengajar di kampus. Tapi, melihat iklim perdosenan saat ini, dan itu mungkin akan bertahan selama bertahun-tahun ke depan, jujur saja menjadi guru lebih menarik bagi saya pribadi. Istri saya dan kedua kakak saya dosen, teman-teman sekolah dan kuliah juga banyak yang dosen.
Selama bekerja sebagai pengadministrasi di kampus, sedikit banyak tahu ritme kerja dan beban para dosen. Jadi, ya paham juga behind the scene-nya dan beragam potensi konflik laten yang pasang-surut di alam akademisi.
Guru bisa libur saat liburan sekolah, dosen tidak. Guru bisa dengan mudah membangun komunikasi dengan wali murid, dosen tidak. Guru leluasa fokus mengajar dan belajar tanpa harus memikirkan penelitian atau pengabdian, dosen tidak.
Guru cukup S1 dan S2 adalah anugerah, dosen tidak. So? Mengajar mahasiswa memang (mungkin lebih) nyaman, santai, dan menyenangkan, tetapi beragam privilege guru tersebut lebih saya sukai ketimbang beberapa privilege dosen, termasuk status sosial sekalipun.
Saat duduk di kelas dua aliyah MAI Attanwir. Talun dulu, saya selalu terpukau ketika diajar oleh Ust. Abd. Rozaq. Beliau yang saat itu juga menjadi dosen IAI Sunan Giri Bojonegoro sangat lihai dalam menjelaskan isi kitab Bidayatul Hidayah di kelas kami dengan wawasan dan contoh-contoh yang berbeda dengan guru lainnya.
Rupanya begitu ya cara mengajarnya dosen yang berkelas. Andaikan di setiap sekolah, madrasah, atau pesantren ada guru pengajarnya yang sudah doktor atau bahkan profesor, betapa tercerahkannya anak muda bangsa ini, batin saya waktu itu.
Nah, ketika bersekolah dulu saya terinspirasi dari guru yang kompetensi dan kualifikasi akademiknya bagus, bukanlah hal yang salah bila saya kelak (ingin) bisa menghadirkan kenyataan untuk siswa-siswi saya di madrasah meski mereka tak pernah memimpikan hal itu.
Harapannya, guru seperti itu bisa membawa mereka lebih menikmati pembelajaran, selain meneladankan hal mendasar: Jika guru yang baik adalah yang tak pernah berhenti belajar, maka guru terbaik adalah yang berhasil menginspirasi siswanya untuk konsisten menjalani prinsip yang sama sejak dini.
Kalau siswa sudah pada level itu, tak pernah berhenti belajar, tak berpuas diri dengan kemampuan yang dimiliki, maka mestinya tak ada lagi namanya remaja pensiun dini dari diniyah sore atau malamnya hanya karena merasa sudah besar.
Tak perlu terulang lagi cerita tamatan aliyah yang tak bisa mengaji. Yang terpenting, tak akan ada lagi kampus, madrasah, TPQ, Madin, hingga keluarga yang "main voli" lempar tanggung jawab sana sini. Insyaallah.
* Pemilik akun FB Salahuddin Ibnu Sjahad dan IG @ibnusjahad adalah seorang guru pengampu mata pelajaran Al-Qur'an Hadis dan Tafsir di MAN Sumenep, alumni Beasiswa Indonesia Bangkit Program Gelar S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.