Pendidikan Vokasi: Jalan Tengah Masa Depan?

Arie Irfan
0
Ilustrasi. Foto: Pixabay

Penulis: M Fachrur Rozy, Akademisi.

EDUKASIA.ID - Ditengah disrupsi teknologi dan tantangan globalisasi, Indonesia tengah memasuki era di mana dunia kerja menuntut kompetensi yang semakin spesifik, fleksibel, dan siap pakai. Kesenjangan antara output pendidikan dan kebutuhan industri menjadi sorotan utama, menciptakan problematika klasik yang terus berulang yaitu adanya output atau lulusan banyak, tetapi tidak sesuai kebutuhan pasar.

Pendidikan vokasi kemudian muncul sebagai salah satu jawaban paling realistis. Namun, apakah pendidikan vokasi benar-benar dapat menjadi jalan tengah masa depan Indonesia?

Pendidikan vokasi memiliki karakteristik yang membedakannya dari pendidikan akademik pada umumnya. Pendidikan vokasi lebih menitikberatkan pada keterampilan praktis, kesiapan kerja, serta pengalaman industri. 

Kurikulum yang diterapkan disesuaikan langsung dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri (DUDI), menjadikannya responsif terhadap perubahan. Keunggulan pendidikan vokasi tercermin dari data penyerapan lulusan. 

Menurut data dari kilaskementerian.kompas.com, tingkat penyerapan kerja lulusan vokasi di bawah naungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencapai 81,15% pada periode 2018–2024. Dari angka tersebut, 49,63% bekerja di industri dalam negeri, 0,39% di luar negeri, 10,34% menjadi wirausahawan, dan 20,79% melanjutkan studi. 

Ini menunjukkan bahwa lulusan vokasi tidak hanya terserap di sektor formal, tetapi juga mampu menciptakan lapangan kerja sendiri. Hal ini diperkuat oleh data vokasi.kemdikbud.go.id, yang menunjukkan bahwa waktu tunggu kerja lulusan SMK hanya berkisar antara 0–2 bulan. 

Dengan kata lain, mayoritas lulusan vokasi mendapatkan pekerjaan dalam waktu singkat setelah kelulusan. Dalam survei ini, juga ditemukan bahwa sektor manufaktur dan jasa menyerap tenaga kerja vokasi secara signifikan. 

Lebih jauh lagi, data vokasi.kemdikbud.go.id dari Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional) tahun 2023 menunjukkan bahwa 29% mahasiswa politeknik telah bekerja bahkan sebelum lulus. Angka ini menunjukkan keberhasilan pendekatan pendidikan vokasi yang mengintegrasikan sistem magang, kerja praktik, dan proyek industri ke dalam proses belajar.

Meskipun menunjukkan tren positif, pendidikan vokasi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, khususnya dalam hal persepsi masyarakat dan daya saing global. Salah satu masalah utama adalah tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan SMK yang masih tergolong tinggi. 

Berdasarkan kompas.id, TPT lulusan SMK masih lebih tinggi dibandingkan jenjang lainnya, terutama karena lulusan SMK yang terkadang tidak sepenuhnya dibekali soft skill atau adaptasi teknologi yang sesuai dengan kebutuhan terkini. Di sisi lain, tingkat partisipasi masyarakat dalam pendidikan vokasi juga masih rendah. 

Menurut radarjogja.jawapos.com, porsi pendidikan vokasi di Indonesia baru mencapai sekitar 10% dari total peserta pendidikan tinggi, padahal idealnya berada di angka 40-50%. Negara-negara maju seperti Jerman, Swiss, atau Korea Selatan telah membuktikan bahwa sistem pendidikan vokasi yang kuat merupakan fondasi penting bagi pertumbuhan industri dan ekonomi mereka. 

Tantangan lainnya adalah kesenjangan digital. Di tengah revolusi industri 4.0, kompetensi digital menjadi kebutuhan dasar. Sayangnya, menurut syababcamp.com, lebih dari 40% perusahaan di Indonesia mengaku kesulitan menemukan tenaga kerja dengan kemampuan digital yang memadai, seperti pemrograman, analisis data, dan penggunaan sistem otomasi. 

Hal ini menunjukkan bahwa kurikulum vokasi di beberapa institusi masih perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman. Belum lagi tantangan dari sisi infrastruktur dan sumber daya manusia. Masih banyak lembaga pendidikan vokasi, terutama di daerah, yang kekurangan fasilitas, teknologi pendukung, dan tenaga pengajar yang kompeten sesuai standar industri.

Pemerintah tidak tinggal diam menghadapi tantangan ini. Melalui berbagai program strategis, pemerintah berupaya memperkuat posisi pendidikan vokasi sebagai jalur utama dalam menyiapkan sumber daya manusia unggul. 

Menurut data dari kemenkopmk.go.id, pemerintah menargetkan merevitalisasi 5.000 SMK dan membangun 500 politeknik baru dalam beberapa tahun ke depan. Revitalisasi ini meliputi pengembangan kurikulum berbasis industri, pelatihan untuk guru dan instruktur, serta modernisasi peralatan laboratorium. 

Salah satu program unggulan adalah Teaching Factory (Tefa), yaitu model pembelajaran yang menyatukan proses pendidikan dengan praktik industri secara langsung. Siswa tidak hanya belajar secara teori, tetapi juga memproduksi barang dan jasa yang bernilai ekonomi. 

Menurut vokasi.kemdikbud.go.id, Tefa telah diterapkan dibanyak SMK dan politeknik dan terbukti efektif dalam meningkatkan kesiapan kerja peserta didik. 

Di sisi lain, pemerintah juga menggandeng sektor swasta melalui skema kemitraan dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Program Business Matching yang dilaksanakan oleh Kemendikbudristek, misalnya, mempertemukan institusi pendidikan vokasi dengan perusahaan untuk menyelaraskan kurikulum, menyediakan program magang, hingga perekrutan langsung.

Salah satu hambatan terbesar pendidikan vokasi justru berasal dari pola pikir masyarakat. Selama ini, pendidikan vokasi sering dianggap sebagai pilihan kedua hanya bagi mereka yang “tidak mampu” menembus pendidikan akademik. 

Padahal, keduanya memiliki fungsi dan nilai yang setara namun berbeda pendekatan. Pendidikan akademik menyiapkan lulusan untuk berpikir konseptual dan teoretis, sementara pendidikan vokasi lebih menyiapkan lulusan untuk langsung terjun ke dunia kerja dengan kompetensi spesifik. 

Dalam konteks ketenagakerjaan saat ini, banyak perusahaan lebih mengutamakan keahlian teknis dan soft skills daripada sekadar gelar akademik. Bahkan, perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Google dan Apple tidak mewajibkan gelar sarjana dalam proses rekrutmen mereka. 

Dengan kata lain, pendidikan vokasi bukan sekadar "alternatif", tetapi jalan praktis yang sangat relevan dan menjanjikan terutama bagi generasi muda yang ingin segera produktif dan mandiri secara ekonomi.

Pendidikan vokasi memiliki potensi besar sebagai jalan tengah masa depan Indonesia. Dengan pendekatan yang berbasis keterampilan, kolaborasi dengan industri, dan penyesuaian kurikulum terhadap kebutuhan pasar, pendidikan vokasi menjawab langsung tantangan mismatch dan pengangguran. 

Namun, potensi ini tidak akan maksimal tanpa dukungan menyeluruh dari berbagai pihak. Pemerintah perlu konsisten dengan program revitalisasinya. 

Dunia usaha harus aktif dalam proses pendidikan dan pelatihan. Masyarakat juga harus mengubah paradigma bahwa vokasi adalah jalur bermartabat dan layak diperjuangkan. Jika dijalankan dengan sungguh-sungguh, pendidikan vokasi bukan hanya menciptakan tenaga kerja, tapi juga wirausahawan muda, inovator teknologi, dan pelaku industri masa depan. 

Sudah saatnya pendidikan vokasi berdiri sejajar dengan pendidikan akademik sebagai pilar utama pembangunan sumber daya manusia Indonesia menuju 2045.

Pendidikan vokasi bukanlah pilihan kedua, melainkan pilihan strategis untuk masa depan yang lebih pasti. Dengan orientasi praktis, kedekatan dengan dunia industri, serta kecepatan dalam menyerap tenaga kerja, pendidikan vokasi dapat menjadi motor penggerak ekonomi Indonesia di tengah persaingan global yang makin ketat. 

Namun, untuk mewujudkan itu semua, dibutuhkan kerja sama dari seluruh elemen bangsa, pemerintah, industri, institusi pendidikan, dan masyarakat. 

Masyarakat sebaiknya berhenti memandang jalur vokasi sebagai “alternatif”, dan mulai melihatnya sebagai “jalan sukses” yang penuh peluang nyata. Karena sejatinya, masa depan bukan hanya milik mereka yang bermimpi besar, tetapi milik mereka yang berani mengambil langkah nyata untuk mempersiapkan diri. 

Generasi muda pantas mendapatkan dorongan untuk tidak ragu memilih vokasi. Bukan karena tidak ada pilihan lain, tetapi karena mereka sadar bahwa menjadi terampil adalah bentuk tertinggi dari kemandirian dan keberdayaan. Dan pendidikan vokasi adalah jalannya.
Tags

Posting Komentar

0 Komentar

Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top