Ilustrasi. Foto Unsplash.
Penulis : Mohammad Salahuddin Al-Ayyuubi, M.Ag*
EDUKASIA.ID - Saya menyukai baca buku sejak kecil. Kalau ditelusuri semua aliran faktor alasan saya suka baca, hulunya cuma satu: gara-gara bapak saya. Beliau guru agama SD, bukan pakar bahasa, bukan pula pustakawan daerah, apalagi pegiat literasi. Tetapi semangatnya membuat anak-anaknya melek literasi sungguh luar biasa.
Sejak dulu, bapak berlangganan koran. Saya yang masih kecil akhirnya juga ikut merasakan euforia awal masa reformasi. Bagaimana seorang menteri dinaikkan jadi presiden dan kehebohan seorang kiai yang dilengserkan dari kursi kepresidenan.
Meski gaji bapak tak banyak, menyisihkan sebagian lagi untuk beli buku-buku bergenre agama juga kerap dilakukan beliau. Sebuah privilege bagi saya, seorang anak desa punya bapak yang kesadaran literasinya tinggi, karena tak semua guru seperti itu.
Tak hanya itu. Setiap ada bantuan buku baru yang datang di perpustakaan SD tempat beliau mengajar, kami menjadi peminjam pertamanya. Atau lebih tepatnya beliau meminjamkan untuk dibaca anak-anaknya. Mulai dari yang tulisannya agak besar dengan spasi renggang, hingga yang tulisannya kecil-kecil dan halamannya mencapai ratusan.
Di antara yang tebal itu, yang paling teringat karena sekian lama tak tertarik membacanya adalah buku "R.A. Kartini", serta buku "Kalilah dan Dimnah". Lha bagaimana lagi, anak kelas 3 MI disodori buku full teks dan minim ilustrasi. Baru menyesal bertahun-tahun kemudian setelah mengkhatamkan dan memahami banyak pelajaran yang bisa dipetik dari bacaan tersebut.
Saat belakangan ini saya menekuni penulisan cerita anak dan dikenalkan yang namanya perjenjangan buku, saya baru paham pengalaman saya waktu kecil itu yang gagal konek dengan beberapa buku, tak lain dan tak bukan karena buku yang disajikan tak sesuai perjenjangan usia pembaca buku.
Zaman itu, Dinas P & K sebagai kepanjangan tangan Depdikbud RI menggenjot pengadaan bahan bacaan dari segi kuantitas tapi abai pada perjenjangan usia pembaca. Mungkin karena perjuangan utama pemerintah adalah menekan jumlah penduduk buta huruf dan memperpanjang usia sekolah anak-anak, tidak sebatas 6 tahun SD saja, tamat langsung bekerja.
Tantangan literasi saat itu adalah pemerataan bahan pustaka. Jika SD tempat bapak saya mengajar selalu dapat bantuan buku baru setiap waktu, sebaliknya, MI tempat saya bersekolah selama enam tahun hanya dapat bantuan sesekali. Itu pun hanya beberapa judul saja.
Tak hanya itu. Setiap ada bantuan buku baru yang datang di perpustakaan SD tempat beliau mengajar, kami menjadi peminjam pertamanya. Atau lebih tepatnya beliau meminjamkan untuk dibaca anak-anaknya. Mulai dari yang tulisannya agak besar dengan spasi renggang, hingga yang tulisannya kecil-kecil dan halamannya mencapai ratusan.
Di antara yang tebal itu, yang paling teringat karena sekian lama tak tertarik membacanya adalah buku "R.A. Kartini", serta buku "Kalilah dan Dimnah". Lha bagaimana lagi, anak kelas 3 MI disodori buku full teks dan minim ilustrasi. Baru menyesal bertahun-tahun kemudian setelah mengkhatamkan dan memahami banyak pelajaran yang bisa dipetik dari bacaan tersebut.
Saat belakangan ini saya menekuni penulisan cerita anak dan dikenalkan yang namanya perjenjangan buku, saya baru paham pengalaman saya waktu kecil itu yang gagal konek dengan beberapa buku, tak lain dan tak bukan karena buku yang disajikan tak sesuai perjenjangan usia pembaca buku.
Zaman itu, Dinas P & K sebagai kepanjangan tangan Depdikbud RI menggenjot pengadaan bahan bacaan dari segi kuantitas tapi abai pada perjenjangan usia pembaca. Mungkin karena perjuangan utama pemerintah adalah menekan jumlah penduduk buta huruf dan memperpanjang usia sekolah anak-anak, tidak sebatas 6 tahun SD saja, tamat langsung bekerja.
Tantangan literasi saat itu adalah pemerataan bahan pustaka. Jika SD tempat bapak saya mengajar selalu dapat bantuan buku baru setiap waktu, sebaliknya, MI tempat saya bersekolah selama enam tahun hanya dapat bantuan sesekali. Itu pun hanya beberapa judul saja.
Tantangan lain, listrik sudah masuk desa dan TV pun mulai banyak yang punya. Anak-anak kecil lebih memilih menonton "Misteri Gunung Merapi" sebab penasaran dengan cemeti amarasuli-nya Sembara vs kedigdayaan Mak Lampir, ketimbang baca buku pelajaran esok hari.
Sekarang? Penerbit dan pemerintah sudah sadar perjenjangan. Anak PAUD jangan disodori buku jenjang C ke atas, bisa bikin trauma malahan. Sebaliknya, anak SMP tak cocok diberi buku cerita bergambar khas jenjang A-B. Nggak sampai semenit pasti sudah khatam. Masyarakat memang banyak yang masih awam tentang perjenjangan ini. Banyak yang latah tren calistung atau tren arisan buku sehingga anak yang baru lancar berjalan sudah disodori buku berteks. Ada masanya, tunggulah.
Yang masih menjadi PR, para penerbit LKS untuk siswa usia awal SD/MI, antara kelas 1-3, masih mengabaikan kaidah perjenjangan tersebut. Walhasil, anak harus berjuang ekstra keras karena tiap babnya terlalu banyak teks yang harus dibaca. Belum tentu pula langsung paham. Efeknya? Banyak sekali. Satu yang paling fatal: anak tidak punya cukup waktu untuk berlatih menulis dengan baik, benar, dan bagus. Apalagi siswa kelas 1 yang masih transisi dari dunia bermain dan berimajinasi beralih ke dunia serba tulis-menulis.
Mau tidak pakai LKS? Ya, bagus. Tapi tidak semua sekolah punya kemampuan menyediakan buku teks sejumlah siswanya. Apalagi jika perpustakaannya hanya ada sewaktu visitasi akreditasi saja. Tidak semua guru punya kreativitas (atau waktu) untuk menyusun LKPD atau modul ajarnya sendiri, mengingat pekerjaan sampingan yang lebih menghasilkan memang lebih menyita waktu.
Akan tetapi, di luar itu semua, tanpa menampik pentingnya perjenjangan usia pembaca, lebih penting menyediakan bahan bacaan yang berkualitas secara berkala agar anak tertarik membaca sedini mungkin. Daripada sadar perjenjangan tapi maunya hanya buku gratisan atau bajakan. Harus ditanamkan kuat-kuat bahwa buku adalah investasi pemberdayaan diri, juga teman yang tak pernah mengkhianati.
Membeli buku yang perjenjangannya lebih tinggi pun tak masalah sebenarnya. Ibarat santri yang suka beli kitab sewaktu masih mondok meskipun belum mampu membacanya. Kelak bisa dibaca saat sudah waktunya, saat di mana uang memang ada tapi tak bisa lagi beli kitab karena tersedot habis untuk kebutuhan hidup keluarga.
Mencintai buku memang tak mudah. Tapi, kalau sudah terlanjur cinta, hal paling sulit pun akan dilakukan, bukan?
Sekarang? Penerbit dan pemerintah sudah sadar perjenjangan. Anak PAUD jangan disodori buku jenjang C ke atas, bisa bikin trauma malahan. Sebaliknya, anak SMP tak cocok diberi buku cerita bergambar khas jenjang A-B. Nggak sampai semenit pasti sudah khatam. Masyarakat memang banyak yang masih awam tentang perjenjangan ini. Banyak yang latah tren calistung atau tren arisan buku sehingga anak yang baru lancar berjalan sudah disodori buku berteks. Ada masanya, tunggulah.
Yang masih menjadi PR, para penerbit LKS untuk siswa usia awal SD/MI, antara kelas 1-3, masih mengabaikan kaidah perjenjangan tersebut. Walhasil, anak harus berjuang ekstra keras karena tiap babnya terlalu banyak teks yang harus dibaca. Belum tentu pula langsung paham. Efeknya? Banyak sekali. Satu yang paling fatal: anak tidak punya cukup waktu untuk berlatih menulis dengan baik, benar, dan bagus. Apalagi siswa kelas 1 yang masih transisi dari dunia bermain dan berimajinasi beralih ke dunia serba tulis-menulis.
Mau tidak pakai LKS? Ya, bagus. Tapi tidak semua sekolah punya kemampuan menyediakan buku teks sejumlah siswanya. Apalagi jika perpustakaannya hanya ada sewaktu visitasi akreditasi saja. Tidak semua guru punya kreativitas (atau waktu) untuk menyusun LKPD atau modul ajarnya sendiri, mengingat pekerjaan sampingan yang lebih menghasilkan memang lebih menyita waktu.
Akan tetapi, di luar itu semua, tanpa menampik pentingnya perjenjangan usia pembaca, lebih penting menyediakan bahan bacaan yang berkualitas secara berkala agar anak tertarik membaca sedini mungkin. Daripada sadar perjenjangan tapi maunya hanya buku gratisan atau bajakan. Harus ditanamkan kuat-kuat bahwa buku adalah investasi pemberdayaan diri, juga teman yang tak pernah mengkhianati.
Membeli buku yang perjenjangannya lebih tinggi pun tak masalah sebenarnya. Ibarat santri yang suka beli kitab sewaktu masih mondok meskipun belum mampu membacanya. Kelak bisa dibaca saat sudah waktunya, saat di mana uang memang ada tapi tak bisa lagi beli kitab karena tersedot habis untuk kebutuhan hidup keluarga.
Mencintai buku memang tak mudah. Tapi, kalau sudah terlanjur cinta, hal paling sulit pun akan dilakukan, bukan?
* Pemilik akun FB Salahuddin Ibnu Sjahad dan IG @ibnusjahad adalah seorang guru pengampu mata pelajaran Al-Qur'an Hadis dan Tafsir di MAN Sumenep, alumni Beasiswa Indonesia Bangkit Program Gelar S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.