Ilustrasi kecerdasan buatan. Foto Pixabay.
Penulis : T.H. Hari Sucahyo, Pengamat Pendidikan/Guru Purna Karya Yayasan Pangudi Luhur Semarang
EDUKASIA.ID - Dunia sedang berubah dengan kecepatan yang mencengangkan. Teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), telah melesat jauh melampaui kecepatan sistem pendidikan kita dalam beradaptasi. Sayangnya, kita masih hidup dalam kerangka pendidikan abad ke-20, sementara realitas kerja dan sosial sudah masuk ke abad ke-21, bahkan bergerak ke arah yang sepenuhnya baru. Yang menjadi persoalan bukanlah seberapa cepat AI berkembang, tetapi seberapa lambat pendidikan bergerak untuk mengejarnya.
Ketimpangan ini bukan sekadar soal metodologi atau kurikulum yang usang, tapi menyentuh langsung kesiapan manusia menghadapi realitas baru yang dibentuk oleh teknologi. Dunia kerja tak lagi mengandalkan hafalan atau pengulangan, tetapi pada kapasitas manusia untuk berpikir kritis, bekerja sama, menjadi kreatif, dan mampu beradaptasi dalam ketidakpastian. Sayangnya, justru aspek-aspek ini yang jarang disentuh di kelas.
Pendidikan kita lebih sibuk mengajarkan formula yang bisa dengan mudah dicari oleh mesin, ketimbang menumbuhkan kemampuan yang membuat manusia tak tergantikan oleh mesin. AI tidak mencuri pekerjaan. Yang terjadi adalah pekerjaan berkembang ke arah yang baru. Posisi-posisi kerja yang dulunya hanya bisa dilakukan manusia kini bisa dikerjakan algoritma. Namun pada saat yang sama, muncul pula peluang baru yang tak bisa ditangkap jika sistem pendidikan tidak bersiap.
Lulusan sekolah kita bukan hanya bersaing dengan sesama manusia, tetapi juga dengan mesin yang bisa belajar lebih cepat, bekerja tanpa lelah, dan tidak pernah lupa. Inilah tantangan besar kita: bagaimana memastikan pendidikan tetap relevan, bahkan menjadi garda terdepan dalam menyiapkan manusia bagi dunia yang dipenuhi ketidakpastian? Jawabannya bukan dengan menambahkan mata pelajaran teknologi belaka, tetapi dengan merevolusi cara kita memahami peran sekolah itu sendiri.
Pertama, sekolah harus berhenti menjadi tempat transfer pengetahuan semata. Pengetahuan sudah ada di mana-mana. Sumber belajar tidak lagi eksklusif di kelas. Apa yang dibutuhkan sekarang adalah pembentukan karakter pembelajar seumur hidup. Siswa harus dibekali bukan hanya dengan “apa” dan “bagaimana”, tetapi “mengapa” dan “untuk siapa”. Dengan kata lain, pendidikan harus menumbuhkan rasa ingin tahu dan semangat eksplorasi. Seorang pelajar sejati bukan yang tahu semua jawaban, tapi yang tahu pertanyaan yang tepat untuk ditanyakan.
Kedua, pendidikan harus berani memberi ruang untuk gagal. Dunia kerja hari ini lebih menghargai mereka yang bisa belajar dari kegagalan dan bangkit dengan pendekatan baru, ketimbang mereka yang hanya tahu satu cara dan takut salah. Namun sistem pendidikan kita masih terlalu menghargai nilai sempurna di atas kertas dan tidak memberi ruang pada eksperimen yang tidak berhasil. Padahal kreativitas lahir dari keberanian mengambil risiko.
Ketiga, kolaborasi harus menjadi pusat. Masa depan pekerjaan tidak mengenal pahlawan tunggal. Semua tantangan besar dari krisis iklim hingga inovasi teknologi membutuhkan kerja tim, kolaborasi lintas disiplin, dan kemampuan berkomunikasi secara efektif. Ironisnya, siswa lebih sering dinilai secara individual dan dicegah untuk “bekerja sama” karena dikhawatirkan mencontek. Kita lupa bahwa dunia nyata menuntut kemampuan bekerja dalam tim lebih dari sekadar mengerjakan soal sendirian.
Keempat, kemitraan antara dunia pendidikan dan industri menjadi keharusan, bukan pilihan. Dunia kerja berubah terlalu cepat untuk bisa diikuti oleh lembaga pendidikan yang berjalan sendiri. Maka sekolah harus menjalin hubungan erat dengan sektor swasta agar bisa mengetahui kebutuhan riil pasar tenaga kerja. Pelatihan vokasi, magang, dan integrasi keahlian industri ke dalam kurikulum bisa menjembatani jurang antara pendidikan dan dunia nyata.
Untuk semua itu terjadi, kita membutuhkan perubahan paradigma. Pemerintah, pendidik, orang tua, dan siswa harus sama-sama sadar bahwa sekolah bukan lagi tempat menyiapkan anak masuk ke dunia kerja yang sudah tetap bentuknya. Sekolah adalah tempat mempersiapkan manusia untuk menghadapi dunia yang selalu berubah. Maka pendidikan bukan tentang keahlian yang langsung pakai, melainkan tentang membentuk kebiasaan belajar, fleksibilitas, dan karakter adaptif.
Tak kalah penting, pendidikan harus menempatkan kecerdasan emosional sebagai dasar. Dunia yang makin kompleks menuntut bukan hanya otak yang cerdas, tetapi juga hati yang kuat. Anak-anak harus diajarkan bagaimana mengelola emosi, memahami perspektif orang lain, dan membangun relasi yang sehat. Tanpa itu, semua kecanggihan teknis tidak akan mampu menciptakan masyarakat yang damai dan adil. AI tidak memiliki empati. Inilah keunggulan manusia yang tak tergantikan. Maka kita harus melatihnya sejak dini.
Pendidikan yang gagal beradaptasi dengan zaman bukan hanya tidak relevan, tetapi juga berbahaya. Ia menciptakan generasi yang tidak siap, frustrasi, dan mudah tersesat dalam dunia yang penuh tekanan. Kita berisiko menghasilkan lulusan yang kehilangan arah, bukan karena mereka bodoh, tetapi karena sistem yang seharusnya membekali mereka justru membelenggu.
Meski demikian, kita tidak boleh menyerah. Perubahan bisa dimulai dari mana saja. Guru yang berpikir terbuka, sekolah yang mau bereksperimen, pemerintah yang mendukung inovasi kurikulum, perusahaan yang mau terlibat, hingga orang tua yang mendorong anaknya menjadi pembelajar mandiri; semua punya peran penting. Pendidikan adalah ekosistem, bukan hanya soal ruang kelas.
Di tengah dunia yang dipenuhi ketidakpastian dan disrupsi teknologi, pendidikan harus menjadi jangkar yang memberi arah, bukan beban yang menarik ke belakang. Masa depan membutuhkan manusia yang tangguh, bukan hanya pintar. Maka pendidikan hari ini harus menanamkan keberanian untuk berubah, kemampuan untuk belajar ulang, dan keinginan untuk terus tumbuh.
Jika tidak, kita akan menyaksikan tragedi diam-diam: jutaan anak muda yang bersekolah bertahun-tahun hanya untuk menemukan bahwa dunia yang mereka siapkan sudah tidak ada lagi. Kita punya pilihan hari ini: berlari bersama zaman atau tertinggal dalam sejarah. Dan seperti semua pilihan besar, semuanya bermula dari satu pertanyaan: beranikah kita mengubah pendidikan?
Kirim tulisan di EDUKASIA.ID?
EDUKASIA mengundang Anda untuk terlibat dalam jurnalisme warga dengan mengirimkan berita, artikel, atau video terkait pendidikan, isu sosial, dan perkembangan terbaru. Berikan perspektif dan suara Anda untuk membangun wawasan publik.
Kirim karya Anda melalui WhatsApp: 085640418181
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.