Guru Besar Program Studi Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Zuly Qodir. Foto UMY Yogyakarta.
EDUKASIA.ID - Kedekatan Muhammadiyah dengan pemerintah dinilai bukan persoalan, selama tetap diiringi dengan sikap kritis terhadap kebijakan publik.
Hal itu disampaikan Guru Besar Program Studi Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Zuly Qodir, M.Ag. Ia menekankan pentingnya menjaga "jarak sehat" antara organisasi masyarakat dengan penguasa.
“Dekat dengan siapa saja perlu dilakukan. Tetapi semakin dekat, seringkali kita tidak bisa melihat persoalan dengan jernih,” ujar Zuly dalam keterangan resmi UMY, Jumat, 29 September 2025.
Menurutnya, relasi harmonis antara organisasi keagamaan dan pemerintah adalah hal yang lumrah. Namun, ada risiko besar ketika kedekatan itu membuat daya kritis hilang.
"Asalkan kedekatan tersebut tidak membuat Muhammadiyah kehilangan daya kritis terhadap kebijakan yang berdampak langsung maupun tidak langsung pada masyarakat," tegasnya.
Risiko Kehilangan Fungsi Kritis
Zuly mengingatkan, semakin dekat dengan kekuasaan, semakin besar pula risiko kehilangan fungsi kritis. Sebaliknya, jika terlalu jauh, suara kritis kerap dianggap tidak relevan.Ia mengibaratkan fenomena ini dengan pepatah Minang, “gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak.”
“Padahal yang paling penting adalah tetap berani mengatakan mana yang benar dan mana yang salah, meski berada di lingkar kekuasaan,” ujarnya.
Zuly menambahkan, masuk dalam lingkar kekuasaan sah-sah saja, selama tidak mengorbankan keberanian untuk berbeda suara.
"Karena itu, masuk ke dalam lingkar kekuasaan sah-sah saja, asalkan tidak mengorbankan keberanian untuk bersuara berbeda," jelasnya.
Terkait kedekatan Muhammadiyah dengan pemerintah belakangan ini, Zuly menyebut hal tersebut wajar. Sebab, sebelumnya Muhammadiyah justru lebih sering mengambil jarak.
“Selama ini Muhammadiyah cenderung jauh dari pemerintah. Kalau sekarang agak dekat, itu bukan masalah. Tapi yang penting, jangan sampai kehilangan sikap kritis. Itu yang paling utama,” katanya.
Ia menegaskan, relasi dekat dengan pemerintah harus selalu objektif dan berpihak pada kemaslahatan masyarakat.
Zuly, yang juga menjabat Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan UMY, menyoroti bahaya praktik patron-klien, baik di politik maupun organisasi.
Ia mencontohkan praktik transaksional yang marak terjadi saat pemilu, ketika suara masyarakat dipengaruhi oleh pemberian uang atau bantuan calon tertentu.
Selain itu, ia menilai ada kecenderungan organisasi maupun partai politik menekan perbedaan pandangan agar semua anggota sepakat pada satu suara.
“Harusnya tidak begitu. Kalau ada yang setuju, silakan. Kalau ada yang tidak setuju, juga tidak masalah," ujarnya.
"Semua punya perspektif sendiri. Justru perbedaan itu bisa menjadi bahan diskusi untuk menemukan jalan terbaik,” sambung dia.
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.