Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) Fakultas Psikologi Universitas Airlangga di SMKN 1 Ampelgading, Kabupaten Malang, Jumat 5 Desember 2025. Foto ist
Penulis : Dr. Wiwin Hendriani, S.Psi., M.Si/ Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
EDUKASIA.ID - Pendidikan vokasi kerap diposisikan sebagai jawaban atas persoalan pengangguran. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dirancang untuk mencetak lulusan yang “siap kerja” melalui penguasaan keterampilan teknis sesuai kebutuhan industri.
Namun realitas di lapangan menunjukkan paradoks: lulusan SMK justru masih banyak mengisi angka pengangguran terbuka di Indonesia. Fakta ini menandakan bahwa persoalan kesiapan kerja tidak berhenti pada kompetensi teknis semata.
Berbagai laporan media dan data ketenagakerjaan menunjukkan adanya kesenjangan antara dunia pendidikan vokasi dan dunia kerja. Industri menuntut tenaga kerja yang adaptif, tangguh, mampu bekerja di bawah tekanan, serta siap menghadapi perubahan.
Sayangnya, aspek-aspek psikologis tersebut belum menjadi fokus utama dalam pembekalan kompetensi kerja siswa SMK. Akibatnya, banyak lulusan yang secara teknis cukup terampil, tetapi rapuh ketika menghadapi realitas kerja: mudah menyerah, bingung mengambil keputusan, rentan stres, bahkan terjebak penipuan berkedok lowongan kerja.
Dari sudut pandang psikologi perkembangan, masa akhir remaja yang berada di kisaran usia siswa SMK kelas XI dan XII merupakan fase transisi krusial menuju dewasa awal. Pada tahap ini, individu sedang membangun identitas diri dan identitas karier. Mereka dituntut untuk mampu mengenali potensi diri, mengelola emosi, membuat rencana masa depan, serta beradaptasi dengan ketidakpastian.
Jika fase ini dilewati tanpa pembekalan psikologis yang memadai, transisi dari sekolah ke dunia kerja akan menjadi pengalaman yang penuh tekanan.
Sejumlah kajian psikologi menunjukkan bahwa kesiapan kerja sangat berkaitan dengan ketangguhan psikologis, atau yang juga dikenal dengan istilah resiliensi. Ketangguhan tidak hanya berarti “tahan banting”, tetapi mencakup kemampuan mengelola emosi, memiliki efikasi diri (keyakinan akan kemampuan diri), orientasi masa depan yang jelas, serta kreativitas dalam menyelesaikan masalah.
Remaja yang memiliki ketangguhan psikologis lebih mampu menghadapi penolakan kerja, menyesuaikan diri dengan budaya kerja baru, dan bangkit ketika mengalami kegagalan.
Sayangnya, sistem pendidikan vokasi kita masih cenderung menempatkan kesiapan psikologis sebagai urusan personal siswa, bukan sebagai kompetensi yang perlu dilatih secara sistematis.
Layanan bimbingan karier sering kali berfokus pada informasi jurusan atau lowongan kerja, belum menyentuh aspek mental dan emosional siswa secara mendalam. Padahal, dunia kerja hari ini bukan hanya kompetitif, tetapi juga penuh ketidakpastian dan risiko.
Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) Fakultas Psikologi Universitas Airlangga di SMKN 1 Ampelgading, Kabupaten Malang, pada 5 Desember 2025 memberikan gambaran konkret bagaimana celah ini dapat dijembatani.
Melalui program psikoedukasi bertajuk “Menjadi Sumberdaya Kerja yang Tangguh dan Kompetitif”, siswa tidak hanya diajak berbicara tentang pekerjaan, tetapi juga tentang diri mereka sendiri: bagaimana mengenali kekuatan dan keterbatasan, mengelola rasa takut gagal, serta membangun kepercayaan diri menghadapi masa depan.
Dalam kegiatan tersebut, siswa dilatih memahami konsep ketangguhan psikologis, mengembangkan kreativitas berbasis kompetensi kejuruan, serta menyusun profil diri profesional sebagai bentuk awal personal branding. Mereka juga dibekali literasi risiko kerja, termasuk mengenali modus penipuan lowongan kerja yang kerap menyasar lulusan SMK. Pendekatan ini penting, mengingat kerentanan psikologis sering kali menjadi pintu masuk berbagai risiko sosial.
Yang tidak kalah penting, kegiatan ini juga melibatkan guru melalui Focus Group Discussion untuk menyusun rencana tindak lanjut. Hasilnya, sekolah memiliki arah yang lebih jelas untuk mengintegrasikan penguatan kesiapan psikologis ke dalam layanan bimbingan konseling dan kegiatan sekolah lainnya. Ini menunjukkan bahwa pembekalan mental kerja tidak harus menjadi program tambahan yang rumit, tetapi bisa terintegrasi secara kontekstual dan berkelanjutan.
Pengalaman di Ampelgading memperlihatkan bahwa ketika siswa diberi ruang untuk memahami dirinya, mereka menjadi lebih realistis, reflektif, dan siap menghadapi dunia kerja. Mereka tidak hanya bertanya, “Saya bisa kerja apa?”, tetapi juga “Saya siap menghadapi apa?”
Ke depan, pendidikan vokasi perlu memaknai ulang konsep “siap kerja”. Kesiapan kerja harus dipahami sebagai perpaduan antara kompetensi teknis dan kesiapan psikologis. Tanpa fondasi mental yang kuat, keterampilan teknis akan mudah runtuh ketika berhadapan dengan tekanan nyata di lapangan.
Sudah saatnya penguatan ketangguhan psikologis menjadi bagian integral dari pendidikan SMK. Bukan sebagai pelengkap, melainkan sebagai kebutuhan mendasar. Karena membangun tenaga kerja yang kompeten saja tidak cukup. Indonesia membutuhkan generasi muda yang tangguh, adaptif, dan berdaya menghadapi masa depan kerja yang terus berubah.
Kirim tulisan di EDUKASIA?
EDUKASIA mengundang Anda untuk terlibat dalam jurnalisme warga dengan mengirimkan berita, artikel, atau video terkait pendidikan, isu sosial, dan perkembangan terbaru. Berikan perspektif dan suara Anda untuk membangun wawasan publik.
Kirim karya Anda melalui WhatsApp: 085640418181



.png)




Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.