Kala Seniman Digeruduk Anak-Anak RA


Pagi sekali, anak-anak kami dari Raudlatul Athfal (RA) Hidayatul Mustafidin melakukan outdoor learning. Mereka ingin tahu tentang dunia seni rupa yang telah ada di Kudus ini.

Dengan wajah yang unyu-unyu mereka, kami justru tergopoh-gopoh menjadi tour guide ala-ala.

Kami muncul di depan mereka dan memberhentikannya.

"Setelah makan, bersihkan semuanya. Hai, Kalian mau pergi kemana?" Yah, sebuah pantun dalam palang pintu untuk menggiring wacana kepada anak RA.

"Kami mau nonton pameran seni rupa!" Jawab Nadia dengan wajah polosnya.

Kami pun berkenalan, lalu kami mengajak mereka di depan kelir wayang Pandawa yang terpampang milik dalang muda Ki Agung.

Anak RA kelihatannya asing dengan Pandawa, lebih familiar Upin dan Ipin karya tetangga. Tapi, anak super aktif yang Saya lupa namanya menjawab. "Pak, Bima!" Lalu semua anak RA tertawa terbahak-bahak.


Setelah dijelaskan langsung oleh empunya, kami masuk pada lorong dengan kain hitam.

Mereka dengan rona ketakutan masuk perlahan. 

Anehnya, tidak ada yang bersuara satupun. Benar-benar organik.

Lalu aku menunjuk satu kaligrafi arab. Satu kaligrafi yang menukil satu surat Al-Quran yakni Alam Nasroh. Karena bukan kompetensi sy untuk menafsirkan Ayat Allah...anak-anak tak geser ke display berikutnya.

Lagi-lagi, Saya melihat kaligrafi Arab. Tapi, kaligrafi ini sangat berbeda dengan sebelumnya. Yang semula jenis fontnya adalah Naskhi, kali ini kelihatannya Diwani Jali (kalau gak salah lho).

Fa Innama amruhu idzaa araada Syaian Anyaqula Lahu KUN FAYAKUN. Sebuah tadabbur untuk selalu mengingatkan bahwa Kabeh Kui Saka Gusti Kang Ngecat Lombok.

Dari 3 display; wayang, kaligrafi Naskhi dan Diwani Jali mungkin masih aman.


Display berikutnya adalah display yang membuat saya deg-degan. Karena apa? Karya Seni Lukis Kontempoye (rer) membuat warna lebih hidup dan memanjakan mata tapi "nulayani adat".

Aku pun, dengan gercep improvisasi untuk menanyakan unsur semiotika yang terdapat di dalam lukisan. 

Tapi, anak-anak RA sangat tidak memahamiku.

Kubawa lagi ke arah lukisan realis. Gunung Rahtawu dan elang, macan muria, dan punden. Karya anak muda asli Rahtawu yang mencoba menangkap kegelisahan Rahtawu karena perkembangan dimensi sosial dan sudut pandang Rahtawu.

Karena anak RA mencoba untuk memegang lukisan. Aku sebagai tour guide sangat ketakutan "kalo-kalo" Lukisannya rusak atau jatuh.

Di sebelah display tersebut ada kliping sejarah Muria. Keadaan Muria saat itu. Yang paling menarik, bahwa alam muria masih sangat virgin dan lestari. Sungguh sebuah pemandangan yang lubis.

Fragmen lain memberitahukan tentang motor pengangkut air Gentong Muria serta masa tuanya.

Art print adalah display berikutnya. Sebuah seni gabungan antara manual dengan digital. Kodefikasi dibaca oleh anak RA dengan gamblangnya.

"Oh ini mangkoknya Pak?" Aku terkejut dan mau salto mendengar celoteh anak yang super duper suipe pol. Gambar ini, paling lama dilihat anak RA. Tidak tahu kenapa, tapi mereka selalu terheran karya anak muda Kudus.

Nah, tugu dari Bambu didirikan untuk di tengah-tengah pameran. Fungsinya sebagai tempat menaruh lampu spot menerangi pameran.

"Pak, ini tulisan apa?" Ucap anak kecil cantik dengan lesung pipinya. Aku pun kaget dengan apa yang ditanyakan. Padahal aku sendiri belum melihatnya.


Ya, terpaksa saya lihat kaligrafi jawa yang mengatakan "Ng" Dengan sinar lampu dari bawah ke atas.

Nampaknya sang kreator ingin berbicara bahwa hubungan dari bawah ke atas akan memancarkan sinar ke seluruh karya. Akan diterangi dengan sendirinya.

Kemudian daripada saya salah menjadi mufassir tugu. Saya beranjak ke tempat display berikutnya yakni sebuah tangan kanan yang terbuka dengan bahan kayu (ranting).

"Kenapa harus tangan kanan?" Gurunya menjawab "kan, untuk makan pak" Yak sip, tapi kenapa harus terbuka tanganya?

Kenapa tidak dalam keadaan yang tertutup/ Muluk sego? Pertanyaan dari saya lagi ternyata membuat gaduh anak RA.

Lalu, di ending display ada surat Yasin dengan ornamen yang cantik. Inilah penutup dari display pemeran. Surat yasin mengingatkan kita bahwa, kalian harus tetap ingat bahwa kematian adalah hak prerogatif Allah. 

Surat tersebut pula lah yang populer di kalangan masyarakat dalam membantu si mayat di alam Barzah.

Huh, kesel tenan. Mbuh. Anak RA datang membuat energiku terkuras banyak, sehingga setelah menjadi tour guide mereka saya tertidur.

Bahkan harus ketinggalan materi dari Kemenparekraf, Baluarti, dan Hysteria Semarang. kalian percaya dengan tulisan ini? Jangan.

Karena kuajak kalian semua untuk membuktikan perkataan saya ini. Besok Minggu, hari terakhir kami melakukan hajat mantu Festival Pager Mangkok.

Salam dari kami, Kampung Budaya Piji Wetan. Salam asah, asih dan asuh.

Jesy Segitiga, Pegiat Kampung Budaya Piji Wetan

buttons=(Accept !) days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top