Jiwa Petarung Sang Profesor Dari Desa


Prof. Dr. H. Fatah Syukur, M.Ag, guru besar Ilmu Manajemen Pendidikan Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang ini dikenal gigih dan berjiwa petarung.

Dilahirkan dari keluarga berlatar belakang terbatas ekonomi, ayahnya berprofesi sebagai pekerja serabutan, sedangkan sang ibu berprofesi buruh jahit. Atas keterbatasannya itulah, ayahnya berharap Fatah (sapaan akrab nya) berhenti sampai sekolah teknik (ST) saja dan lantas bekerja membantu ekonomi keluarga.

Namun gurunya di Madrasah Ibtidaiyah (MI) justru mengharapkan agar studi Fatah dilanjutkan. “Guru saya justru bilang bahwa beliau tidak ridlo kalau muridnya nanti memegang palu, maksudnya setelah sekolah ST langsung bekerja,” tutur kaprodi S3 Pascasarjana UIN Walisongo Semarang ini.

Kondisi dilematis inilah yang membuatnya tetap menuruti kemauan sang ayah, mendaftar di sekolah ST. Seluruh prosedur pendaftaran diikuti, namun sengaja ia laksanakan sebatas gugur kewajiban.

Benar saja, namanya tidak tercantum dalam daftar siswa yang diterima.

Melihat fakta tersebut sang ayah lantas mengikhlaskannya untuk mendaftar di tempat lain, dan akhirnya ia diterima dan bersekolah di MTs negeri Kudus hingga lulus.


Selepas lulus MTs dia menyelesaikan sekolah di PGAN Kudus, lalu dilanjutkan ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang jurusan tarbiyah.

Fatah sempat ditawari untuk mengajar di MI oleh gurunya, namun ditolaknya secara halus, gurunya pun memahami dan mengamini niatnya untuk studi lanjut, bahkan mendukung dengan motivasi.

“Tidak apa-apa kalau memang niatmu begitu, nanti kamu bisa kuliah sambil jualan koran,” kenangnya menirukan ucapan guru.

Berjiwa petarung


Pilihan menjadi mahasiswa kala itu memiliki konsekuensi tersendiri bagi Fatah, ia harus siap menanggung biaya-biaya terutama biaya hidup. Untuk sebulan, kala itu biaya yang harus disiapkan rata-rata Rp. 40.000.

Padahal orangtuanya hanya memberikan saku Rp. 9.000 untuk sebulannya. Jiwa petarungnya terasah, ia mencari pendapatan untuk menutupi biaya-biaya selama hidup di kota dengan menulis artikel dan resensi di surat kabar.

“Saya mencari tambahan saku dengan menulis artikel di beberapa media surat kabar dan majalah,” tegas suami Hj. Uswatun Marhamah ini.

Strategi lain karena keterbatasan finansial adalah dengan meminimalisir biaya transportasi dari kos ke kampus. Jarak tempat kos dengan kampusnya sekitar 2 km, ia memilih untuk jalan kaki

Meski dengan keterbatasan, dirinya mengaku belum pernah sekalipun pinjam uang, itu prinsipnya.



“Belum pernah sekalipun saya meminjam uang selama kuliah, karena ingat pesan bapak agar jangan sampai menghutang,” imbuhnya.

Selepas lulus kuliah Fatah memantapkan diri mendaftar sebagai dosen di almamaternya, dan diterima. Keputusan ini dilematis mengingat saat itu a juga diterima menjadi wartawan dengan gaji yang lebih tinggi.

Gaji dosen yang ia terima sebesar sebesar Rp.160.000, sementara saat masih sebagai wartawan ia menerima gaji sebesar Rp. 180.000. Namun ia memilih meninggalkan profesi wartawan karena keyakinan ada kenaikan seiring jenjang karir dalam profesi dosen.

Siapa mau meniru?

Penulis: Abe Azzahrowi

Kirimkan profil tokoh-tokoh inspiratif yang anda anggap layak untuk dimuat di EDUKASIA.ID melalui email redaksi@edukasia.id


buttons=(Accept !) days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top