Bikin Trenyuh, Curhat Guru Didatangi Muridnya Yang Telah Dewasa

Foto ilustrasi 

Semarang. EDUKASI.EDU. Jarak memang bukan kendala utama bagi seseorang yang menginginkan sebuah perjumpaan. Melepas rindu juga bukan hal yang seharusnya dijadikan sebagai alasan.

Jangan biarkan setiap pertemuan terkikis habis oleh debur "kepentingan-kepentingan". Karena, merawat kenangan adalah hal yang utama.


Sebuah Kenangan terkadang dapat menjadi pembahasan dalam setiap perjumpaan. Entah kenangan manis atau pahit bersama orang lain, maupun dengan seseorang yang di hadapan kita.


Namun, berbagai respon tak jarang tercipta saat membahas hal sepele macam ini.


Kita semua boleh sepakat atau justru sebaliknya bahwa kerinduan merupakan faktor utama yang membuat hampa sebuah rasa. Bahkan Fariddudin Attar, seorang penyair dan guru Jalalluddin Rumi, pernah menuturkan perkara rindu yang bergejolak di dalam kalbu adalah sebuah kerumitan yang begitu dalam. 


Perjumpaan dapat diibaratkan seperti membuka jendela pada pagi hari dengan hangat sang mentari. Sebuah momen yang mungkin paling dinanti bagi sebagian orang ketika merasa hidup tak lagi sekedar mimpi-mimpi yang mengkhawatirkan.


Namun, adakah perjumpaan yang tidak meninggalkan apapun selain perpisahan?


Muridku telah jadi mahasiswa


Sebuah kenangan berputar kembali dalam ingatan saya. Waktu itu beberapa murid yang sudah menjadi mahasiswa, berkunjung di sela-sela aktivitas saya sebagai kepala rumah tangga.


Mereka sebelumnya adalah murid-murid yang pernah saya ajar ketika di SMP dulu.


Sebagai (mantan) guru mereka, tentu saja saat itu  saya merasa menjadi manusia seutuhnya. Betapa tidak, dalam rentang waktu yang lumayan lama kita tidak berjumpa, setelah ikatan yang terbentuk dari proses belajar mengajar telah usai, mereka masih menganggap saya sebagai bagian dari sejarah hidup mereka, dikala bagi sebagian mereka menganggap guru merupakan bagian dari masa lalu.

Saya merasa memiliki banyak peran dalam perjumpaan kala itu. Saya maerasakan sebagai teman, kakak, bahkan sebagai orang tua mereka. Banyaknya peran tersebut sering membuat saya bingung menentukan posisi di tengah-tengah mereka.

Karena di sisi lain, saya percaya bahwa kedatangan mereka tentu terselip harapan mendapatkan pengalaman baru, terlepas dari status yang mengikat di antara kita dahulu. Akan tetapi, saya juga meyakini bahwa peran baru dapat menyembunyikan sebuah identitas dalam menyempurnakan sebuah pertemuan.


Sebagian dari kita memang mendambakan sebuah perjumpaan yang sempurna, berakhir dengan kerinduan dalam masa-masa hening perpisahan. Namun, sebuah kepentingan sering merusak impian tersebut karena bagi sebuah kepentingan, kerinduan berikutnya adalah seberapa lama "kontrak" yang disepakati bersama. Membawa sebuah kepentingan dalam sebuah pertemuan memang tidak salah, namun yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah kita menyadari penderitaan dari sebuah kerinduan?


Jangan Anggap remeh perjumpaan

Dalam relationships development, ada salah satu fase interpersonal dissatisfaction yang membuat sebuah hubungan yang terjalin tidak menjadi terlalu penting seperti yang dijalani sebelumnya. Fase tersebut akhirnya yang membatasi kita dalam melanjutkan sebuah hubungan yang lebih intim.


Tidak jarang pertemuan terkadang dianggap sebagai bagian dari salah satu proses melancarkan sebuah kepentingan saja. Oleh karena itu, tak jarang bagi seorang perindu seperti saya sering mengorbankan perasaan demi memantapkan diri sebagai seseorang yang baik.


Mungkin terkesan berlebihan, namun tak dapat dipungkiri jika hal tersebut dapat menjadikan seseorang memilih jalan menutup diri bagi mereka yang tidak mau merasakan kekecewaan.

Yang lebih menyakitkan lagi, bagi sebagian dari kita masih menganggap remeh keberlanjutan dari sebuah perjumpaan setelahnya. Banyak yang mengabaikan bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan seperti pada perjumpaan sebelumnya.

Tidak jarang pula keadaan seperti itu mampu membuat ketidaknyamanan dalam sebuah pertemuan. Sepertinya bagi orang-orang yang terbelenggu oleh rasa pakewuh selalu berada di posisi serba salah. Sehingga muncul pertanyaan selanjutnya, apakah menuntut sesuatu yang lebih adalah keegoisan dalam sebuah hubungan?


Bagi saya tentu tidak. Pertemuan saya dengan murid-murid waktu itu, paling tidak sudah menjadi alasan bagaimana menuntut sesuatu yang lebih dalam sebuah hubungan adalah hal yang wajar. Karena dengan begitu kita menjadi tahu sampai kemana hubungan nanti akan berlanjut.


Kejenuhan dalam sebuah hubungan sedikit banyaknya mampu mempengaruhi mental seseorang. Salah satunya mampu membuat seseorang menjadi orang lain. Karena  ketika merasa tidak nyaman, seseorang akan memendam kejenuhan tersebut melalui "orang lain".


Namun, yang yang perlu digarisbawahi adalah ketidaknyamanan tidak hadir begitu saja. Ia hadir karena tidak tercapainya kesadaran dalam menjalankan sebuah hubungan. Dan rata-rata orang menganggap bahwa kesadaran yang dimaksud adalah membalas budi.


Banyak yang terjebak dengan pemahaman tersebut. Tidak peduli dengan kepayahan yang sedang dialami. Pokoknya harus ada timbal balik. Bahkan kita harus meluangkan waktu demi sebuah perjanjian yang tidak pernah tertulis itu.


Jangan sampai kehilangan momentum merindu menghilangkan jati diri seseorang. Suasana baru mungkin dirasakan setelah awal perjumpaan. Namun dalam mengisi babak baru tersebut bukan berarti harus mencoret bahkan menghapus pertemuan sebelumnya. Karena krinduan bukan sebuah alat penukar dalam setiap perjumpaan.


Dan bagi Mohamad Sobary, siapapun yang pernah merasakan rindu dan yang masih dilanda rindu, kerinduan akan terobati bukan hanya saat bertemu, melainkan juga ketika merasa pasrah "untuk menjadi". Termasuk sekedar menjadi sebatang lilin yang nyala kecilnya menembus gelap di lorong-lorong jiwa.


Penulis: Ahmad Dzikron Haikal, Pendidik swasta di Semarang, pegiat sastra malam Jumat dan memiliki hobi menulis cerpen serta puisi.
Editor: Moh. Miftahul Arief

buttons=(Accept !) days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top