Menikah di Bulan Syawal: Antara Sunnah dan Kepercayaan

Ilustrasi pernikahan, Dok. Pexels/Danu Hidayatur Rahman

Terkenal dengan kekayaan tradisi dan budaya membuat Indonesia dekat dengan kepercayaan maupun mitos yang melekat di masyarakatnya. Sebagai contoh nyata pada mayoritas masyarakat Jawa saat ini berkaitan dengan pernikahan, baik dalam penentuan jodoh ataupun hari pernikahan. 

Memegang teguh tradisi leluhur membuat masyarakat Indonesia hingga kini masih meyakini perhitangan hari baik yang dikaitkan dengan hari lahir kedua mempelai. (Hakim, Hakiki, 2022) Masyarakat Jawa sendiri mempercayai adanya Petung Jawa atau penentuan hari baik dalam pernikahan. 

Berdasarkan jurnal Kajian Kaida Al-Addah Al-Muhakkamah oleh Anwar Hakim dan Kiki Hakiki, dalam pelaksanaanya sebagian pernikahan masyarakat Jawa tidak hanya dipandang sebagai ibadah, tetapi juga sebuah seremoni dari wujud kebahagiaan sebuah keluarga yang sudah tentu tidak akan lepas dari adanya unsur adat atau tradisi di dalamnya.

Kepercayaan Petung Jawa membawa masyarakat pada bulan Syawal yang dianggap sebagai bulan baik untuk melangsungkan pernikahan. Rasulallah sendiri memandang bulan Syawal sebagai keberkahan dengan tercatatnya beberapa peristiwa penting dalam sejarah Islam, yaitu perang Uhud pada tanggal 17 Syawal tahun ke-3 H, perang Khandaq/Ahzab pada tahun ke-5 H, dan perang Hunain pada tahun ke-8 H. 

Dalam kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Nabi Saw menikahi Aisyah r.a serta istri lainnya pada bulan Syawal. Hal ini dilakukan untuk membantah mitos yang berkembang di kalangan kaum Jahiliyyah bahwa menikah di antara dua Ied (bulan Syawal termasuk di antara Iedul Fitri dan Iedul Adha) adalah kesialan dan akan berujung dengan perceraian.

Kemenag dalam websitenya menjelaskan, untuk menghilangkan kepercayaan tersebut pernikahan di bulan Syawal pun dijadikan sebagai ibadah, sebagai sunnah Nabi Saw. Hal ini sejalan dengan beberapa kitab hadis, seperti Shahih Muslim, No.1423, Juz I. Kitab an-Nikah, Sunan An-Nasa’i kitab an-Nikah maupun Sunan Ibnu Majah, No. 1990, kitab an-Nikah dan beberapa kitab lainnya.

Mitos menikah di bulan Syawal bagi masyarakat Jawa tidak hanya untuk memenuhi sunnah Nabi, tetapi juga ajang Ngalap Berkah (Mengharap keberkahan) pada bulan kemenangan yang mana terdapat hari raya idul fitri. Selain itu, momentum berkumpulnya keluarga besar dari berbagai daerah pada saat bulan syawal juga menjadi pertimbangan terjaganya kepercayaan masyarakat Jawa menikah pada bulan Syawal. 


buttons=(Accept !) days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top