100 Remah Hikmah (6): Nasib Masjid



Ilustrasi: Foto pixabay

Penulis: Salahuddin Ibnu Sjahad*

EDUKASIA.ID
-  Rasanya tulisan ini bisa membantu mengupas, menanggapi atau mungkin menyelaraskan hal-hal berikut:

1) Teman saya yang merasa galau karena masjid di kampungnya istiqomah tak pernah direnovasi serius sejak dia kecil.

Itu berarti sudah 30-an tahun berlalu. Penyebabnya beragam & kompleks. Kalau di-rating, urutannya mungkin seperti ini: tidak ada dana bukan karena di desanya tidak ada orang yang kaya, tapi karena para takmir hanya menunggu bantuan pemerintah kalau ada.

Tidak ada niatan untuk membangun. Uang kas jamaah jumat tak cukup karena digunakan operasional tapi tak pernah dilaporkan secara verbal & bahkan diisukan adanya penyalahgunaan.

Berangkat dari keroposnya kepercayaan itu, stigma yang muncul adalah: "buat apa saya menyumbang jariyah masjid banyak-banyak kalau toh akhirnya tidak jelas penggunaannya".

Banyak sekali yang perlu diperbaiki di sini. Revolusi & reformasi takmir dan revolusi mental para jamaah. 

Kemajuan tak akan bisa dicapai kecuali dengan pemimpin yang bisa dipercaya dan rakyat yang percaya. Kepercayaan semakin langka akhir-akhir ini.

2) Beberapa hari belakangan saya jadi muadzin tetap salat subuh di sebuah masjid "komunitas" yang berada di sebuah kampung yang sepi dari kaum usia produktif.

Saya sebut komunitas karena imam & makmum yang berjamaah di situ selalu sama, jumlah & wajah orangnya. Mereka adalah orang-orang tua yang istiqomah jamaah karena kesadaran personal dan juga (mungkin karena) faktor usia.

Masjid tersebut bisa jadi merupakan miniatur keadaan masjid-masjid di indonesia. Paling ramai saat salat maghrib. Berkurang jamaahnya saat salat isya'.

Kesetiaan jamaah bisa dilihat dari siapa-siapa yang datang salat subuh. Jamaah dhuhur & ashar sangat fluktuatif. Kalau di dekat masjid ada madrasah diniyah, TPQ, atau instansi, mungkin akan ramai. Minimal untuk lepas penat.

Tapi kalau tak ada, bisa jadi adzan akan dimundurkan jamnya atau bahkan tidak ada adzan. Ngenes.

3) Saya terkadang merasa egois saat memilih jumatan di masjid menara, Kudus. Padahal ada 3 masjid lain yang jaraknya relatif sama jika jalan kaki dari pondok. 

Di masjid yang dibangun oleh Kanjeng Sunan Kudus tersebut, shaf jamaah hampir bisa dipastikan sudah full saat adzan kedua jumatan dikumandangkan.

Jadi saat salat dimulai, akan ada shaf-shaf dadakan di area parkir, jalanan ataupun emperan toko sekitar.

Bukan karena tak ada dana untuk membangun. Bahkan dana peziarah yang diambil takmir tiap jumat karena saking full nya kotak-kotak jariyah ukuran brankas lebih dari cukup.

Tidak usah pakai proposal. Kendalanya, kalau diperluas tidak bisa karena pemukiman sudah padat.

Kalau ditingkat, jamaah salat bisa su'ul adab terhadap keberadaan makam mbah sunan kudus yang ada di bawah, di sebelah barat masjid.

Subhanallah..betapa beretikanya.

Saya merasa merampas hak penduduk asli (mustauthin) yang biasanya bisa jamaah dengan nyaman di dalam masjid jika pondok-pondok sedang libur.

Betapa jahatnya orang, bahkan ketika dia melakukan kebaikan. Saya tadi contohnya.

4) Setiap kali saya baca berita tentang perkembangan islam di luar negeri, ada fenomena yang hampir sama: minoritas ternyata menimbulkan kesemangatan & menghangatkan kebersamaan.

Tak ada masjid, jamaah akan tetap solid dan komplit, walau diadakan di lapangan, apartemen atau gereja sekalipun.

Wow sekali rasanya.. Apa yang anda cerna dari tulisan ini? Sebuah Ironi? Paradoks? kesenjangan? Mungkin iya.

Tapi kita tak bisa menyanggah bahwa Allah selalu adil. Buktinya sudah tak mungkin bisa kita hitung.

Saya & para pembaca, selaku manusialah yang tak henti mendholimi diri sendiri. Subhanaka inni kuntu minadh dholimin.

Wallahu a'lam.


**** * ****

*Salahuddin Ibnu Sjahad atau Mohammad Salahuddin Al-Ayyubi, seorang guru mata pelajaran Ilmu Tafsir di MAN Sumenep, peraih beasiswa studi S2 melalui Beasiswa Indonesia Bangkit di UIN Sunan Kalijaga. Tulisan ini merupakan kompilasi statusnya di Facebook yang kemudian dijadikannya buku berformat PDF, diberinya judul "100 Remah Hikmah: Secuil Cerita dan Sudut Pandang Baru dalam Menikmati Rutinitas Kehidupan."

buttons=(Accept !) days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top