Mengasah Pola Pikir Kritis dengan Belajar Ala Socrates

Redaksi
0
Ilustrasi Socrates. Foto Pixabay.

Penulis : Fahita Safiraturahman, Mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, IPB University.

EDUKASIA.ID
- Di tengah derasnya arus informasi dan budaya instan, manusia banyak menggandrungi kecerdasan buatan (AI) sehingga menurunkan daya berpikir kritis mereka. Menilik fenomena tersebut, muncul kebutuhan akan gaya belajar yang tidak hanya menelan informasi secara bulat, tetapi juga menumbuhkan pemikiran kritis, reflektif, dan mendalam sehingga mengajak otak untuk berpikir lebih kompleks.

Salah satu tokoh yang mewariskan metode belajar kritis adalah Socrates, filsuf Yunani Kuno yang hidup pada abad ke-5 sebelum Masehi. Meskipun hidup lebih dari dua ribu tahun lalu, gaya belajar Socrates justru sangat dibutuhkan oleh generasi saat ini karena sangat relevan untuk memicu pemikiran-pemikiran yang kritis.

Socrates tidak meninggalkan tulisan apapun. Namun, pemikirannya terekam melalui murid-muridnya, seperti Plato dan Xenophon. Ia dikenal sebagai sosok yang tidak mengklaim tahu segalanya, bahkan terkenal dengan ucapannya, “Saya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa.” Prinsip ini menjadi pondasi dalam pendekatan belajar dan berpikir yang ia kembangkan.

Socrates meyakini bahwa kebenaran dan kebijaksanaan hanya bisa ditemukan melalui dialog dan refleksi, bukan melalui dogma atau ceramah satu arah. Ia menekankan pentingnya menyoal—bukan sekadar menerima begitu saja. Ini yang membuatnya dianggap sebagai “bapak filsafat barat” dan tokoh besar dalam pendidikan kritis.

Gaya Belajar Socrates: The Socratic Method

Gaya belajar Socrates dikenal sebagai dialektika atau lebih spesifik disebut dengan nama Socratic Method atau metode dialog Socratic. Dalam metode ini, proses belajar terjadi melalui tanya jawab yang mendalam dan berlapis. Socrates tidak memberi jawaban langsung, melainkan memancing lawan bicaranya untuk menggali sendiri jawabannya melalui serangkaian pertanyaan reflektif.

1. Menggali Asumsi (elenchus)


Proses belajar Socrates dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan dasar yang tampak sederhana, tetapi sebenarnya bersifat mendasar dan filosofis dengan menggali kepercayaan atau opini seseorang lewat rangkaian pertanyaan sistematis.

Pertanyaan seperti “Apa yang kamu pahami tentang keadilan?” diajukan untuk mengeksplorasi asumsi awal dan definisi pribadi dari lawan bicara. Tujuannya adalah memancing mereka menyadari dan mengartikulasikan apa yang mereka yakini benar, sebagai titik tolak untuk berpikir lebih kritis.

2. Refleksi Keterbatasan


Setelah asumsi dasar digali, Socrates melanjutkan dengan serangkaian pertanyaan lanjutan yang bersifat analitis, seperti “Apakah semua tindakan yang sesuai hukum itu adil?”.

Pertanyaan-pertanyaan ini dirancang untuk menguji konsistensi argumen, memperluas perspektif, dan menyadari keterbatasan pengetahuan yang kompleks. Inilah inti dari metode elenchus—proses tanya jawab terbuka yang menantang logika dan kedalaman berpikir seseorang.

3. Ironi Socrates


Dalam tahap ini, Socrates membuat peserta menyadari adanya ketidaksesuaian dalam pemikiran mereka.

Misalnya, jika seseorang menganggap hukum selalu adil, Socrates akan bertanya, “Jika begitu, bagaimana dengan hukum yang menindas?” Kontradiksi ini tidak dimaksudkan untuk mempermalukan, tetapi untuk menunjukkan bahwa pemahaman yang semula diyakini belum tentu kokoh, dan masih bisa diperbaiki atau diperluas.

4. Menemukan Titik Buntu (Aporia)


Setelah kontradiksi dalam pemikiran terungkap, dialog Socratic membawa peserta pada kondisi kebingungan intelektual. Mereka mulai mempertanyakan ulang dasar dari keyakinan awal yang mereka miliki. Inilah yang disebut aporia—kebingungan filosofis yang membuka jalan menuju pemahaman baru.

Misalnya, jika seseorang beranggapan bahwa jika ada hukum yang menindas dapat dikatakan tidak semua hukum itu adil, Socrates akan kembali bertanya, “Kalau keadilan tidak selalu sejalan dengan hukum, lalu bagaimana kita bisa menentukan apa yang benar-benar adil?”

Socrates tidak memberikan jawaban pasti, karena inti dari proses ini adalah belajar menemukan pemahaman melalui logika dan introspeksi, bukan menerima kebenaran dari otoritas luar.

Gaya belajar Socrates memiliki sejumlah kelebihan yang menjadikannya sangat relevan dalam membentuk karakter pembelajar yang berpikir mendalam dan kritis. Metode ini melatih seseorang untuk tidak sekadar menghafal, melainkan menganalisis, mengevaluasi, dan merefleksikan secara aktif terhadap pengetahuan yang diperoleh.

Dalam prosesnya, pembelajar diajak berdialog dan mempertahankan argumennya melalui diskusi yang terarah, sehingga kemampuan berdialog dan berargumen pun semakin terasah.

Metode ini juga berperan penting dalam mengasah kesadaran diri, karena secara perlahan akan menyadari keterbatasan pemahaman mereka dan menjadi lebih terbuka terhadap proses belajar lanjutan. Selain itu, pendekatan ini mendorong pembelajar untuk mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam, tidak hanya berhenti pada definisi permukaan, tetapi juga menggali makna konseptual dan kontekstual dari suatu ide atau permasalahan.

Dengan demikian, gaya belajar Socrates tidak hanya efektif dalam meningkatkan kapasitas intelektual, tetapi juga membentuk sikap pembelajar yang rendah hati, reflektif, dan berpikiran terbuka.

Posting Komentar

0 Komentar

Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top