Penulis : Mohammad Salahuddin Al-Ayyuubi, M.Ag*
EDUKASIA.ID - Kalau Anda memahami bahwa maksud dari judul di atas adalah "perpustakaan", selamat. Benar sekali tebakannya. Oleh karena itu, skip saja tulisan ini karena Anda pasti paham lebih rinci permasalahan yang ada selama ini. Kalau belum paham, bolehlah ikut lanjut membaca.
Ketika menteri pendidikan berganti, imbasnya bukan hanya berganti pula kurikulum yang diterapkan di seluruh sekolah dan madrasah di negeri ini. Lebih merepotkan dari itu: berganti pula buku teks yang digunakan. Misalnya, di satu sekolah saja ada total 500 siswa, kalikan jumlah mapel, lalu akumulasikan dengan jumlah sekolah se-Indonesia.
Gambaran lebih detail, ada madrasah yang berdiri 20 tahun lalu, otomatis perpustakaannya sudah punya koleksi buku paket semua mapel dari beberapa "angkatan" kurikulum, termasuk KBK 2004, KTSP 2006, K-2013 (tambah Kurma 2019 untuk madrasah), hingga Kumer yang wajib dijalankan penuh sejak 2024 lalu.
Kalau ke depan jadi ganti lagi dengan kurikulum Deep Learning kombinasi KBC-nya kemenag, dan perpustakaan tersebut belum pernah memusnahkan atau menjual kiloan semua koleksi lamanya, maka bisa dipastikan di belakang rak-rak buku yang tertata rapi itu tersembunyi tumpukan buku yang menggunung sampai ke atap.
Kalau swasta mungkin lebih sederhana masalahnya. Tak semua madrasah mewajibkan penggunaan buku paket karena sudah biasa berlangganan LKS atau modul dari penerbit/organisasi tertentu. Kalau negeri, buku paket harus ada setiap ada pembaruan, sementara buku yang lama tak boleh langsung dimusnahkan atau dijual karena pengadaannya dulu memakai uang negara. Urusan dengan Barang Milik Negara (BMN) luar biasa ribetnya, kalau Anda belum tahu.
Jadinya, perpustakaan sekolah kini tak hanya sebagai ruang baca, tapi juga gudang penyimpanan buku lama, alias kamp pengungsian buku teks yang sudah tak boleh digunakan lagi sebab pergantian kurikulum, meskipun isinya tetap relevan dan layak baca.
Memang sejak adanya KBK 2004 dulu pemerintah sudah mendukung keberadaan BSE atau buku elektronik dan tak mewajibkan penggunaan buku paket secara fisik, tetapi tahulah sendiri kebijakan tak sejalan dengan kenyataan. E-book pelajaran hanya akan bisa dinikmati dengan baik jika tiap sekolah memiliki perangkat yang mendukung, baik tablet atau laptop untuk memudahkan para siswa mengaksesnya.
Apalagi jika mengingat beberapa negara maju sudah "bertaubat", kembali menggunakan buku dan tulisan tangan agar para siswa terhindar dari dampak negatif penggunaan gadget yang berlebihan sejak dini. Sudah saatnya pemangku kepentingan di tingkat pusat menyadari hal ini.
Misalnya, dengan pengadaan standar konversi buku teks. Sekolah tetap bisa menggunakan buku teks Kurikulum Merdeka, dengan mengikuti panduan standar konversi tersebut. Misalnya, materi A mapel A sesuai kumer ada di bab 2 BTP, sementara pada deep learning diajukan ke bab 1, ditambahi beberapa perubahan mekanisme asesmennya, dsb. Referensi tambahan materi tersebut, bisa dari BTP K-13 bab sekian.
Dengan cara itu, banyaknya buku lama yang tersimpan benar-benar menjadi KEKAYAAN yang berharga, bukan malah menjadi MUSIBAH bagi pengelola perpustakaan
Kalau swasta mungkin lebih sederhana masalahnya. Tak semua madrasah mewajibkan penggunaan buku paket karena sudah biasa berlangganan LKS atau modul dari penerbit/organisasi tertentu. Kalau negeri, buku paket harus ada setiap ada pembaruan, sementara buku yang lama tak boleh langsung dimusnahkan atau dijual karena pengadaannya dulu memakai uang negara. Urusan dengan Barang Milik Negara (BMN) luar biasa ribetnya, kalau Anda belum tahu.
Jadinya, perpustakaan sekolah kini tak hanya sebagai ruang baca, tapi juga gudang penyimpanan buku lama, alias kamp pengungsian buku teks yang sudah tak boleh digunakan lagi sebab pergantian kurikulum, meskipun isinya tetap relevan dan layak baca.
Memang sejak adanya KBK 2004 dulu pemerintah sudah mendukung keberadaan BSE atau buku elektronik dan tak mewajibkan penggunaan buku paket secara fisik, tetapi tahulah sendiri kebijakan tak sejalan dengan kenyataan. E-book pelajaran hanya akan bisa dinikmati dengan baik jika tiap sekolah memiliki perangkat yang mendukung, baik tablet atau laptop untuk memudahkan para siswa mengaksesnya.
Apalagi jika mengingat beberapa negara maju sudah "bertaubat", kembali menggunakan buku dan tulisan tangan agar para siswa terhindar dari dampak negatif penggunaan gadget yang berlebihan sejak dini. Sudah saatnya pemangku kepentingan di tingkat pusat menyadari hal ini.
Misalnya, dengan pengadaan standar konversi buku teks. Sekolah tetap bisa menggunakan buku teks Kurikulum Merdeka, dengan mengikuti panduan standar konversi tersebut. Misalnya, materi A mapel A sesuai kumer ada di bab 2 BTP, sementara pada deep learning diajukan ke bab 1, ditambahi beberapa perubahan mekanisme asesmennya, dsb. Referensi tambahan materi tersebut, bisa dari BTP K-13 bab sekian.
Dengan cara itu, banyaknya buku lama yang tersimpan benar-benar menjadi KEKAYAAN yang berharga, bukan malah menjadi MUSIBAH bagi pengelola perpustakaan
* Pemilik akun FB Salahuddin Ibnu Sjahad dan IG @ibnusjahad adalah seorang guru pengampu mata pelajaran Al-Qur'an Hadis dan Tafsir di MAN Sumenep, alumni Beasiswa Indonesia Bangkit Program Gelar S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.