Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Foto UMY.
EDUKASIA.ID - Pernyataan anggota DPR RI Ahmad Sahroni yang menyebut masyarakat ingin membubarkan DPR sebagai “mental paling tolol sedunia” dan siswa yang ikut aksi demo anarkis sebagai “brengsek”, menuai kritik keras.
Dekan Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. phil. Ridho Al-Hamdi, menilai ucapan tersebut mencerminkan arogansi elit politik sekaligus kurangnya empati seorang pemimpin.
“Keinginan masyarakat untuk membubarkan DPR bukanlah satire belaka, melainkan luapan kekecewaan akibat berbagai kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat,” ujar Ridho, Sabtu, 30 Agustus 2025, dikutip dari laman UMY.
Menurut Ridho, fenomena ini ibarat gunung es. Apa yang disampaikan masyarakat hanyalah puncak dari kemarahan dan kekecewaan yang lebih besar.
“Mereka punya hak untuk bersuara. Kalau seorang pemimpin tidak bisa mendengarkan itu, berarti dia tidak layak jadi pemimpin,” tegasnya.
Ridho juga menanggapi pernyataan Sahroni yang menyebut siswa demonstran anarkis sebagai “brengsek” dan layak ditangkap. Ia melontarkan kritik tajam dengan membandingkan perilaku anarkis siswa dengan pejabat publik.
“Mereka memang anarkis, tapi tidak mengambil uang rakyat. Sementara pejabat publik tidak anarkis secara fisik, tapi anarkis dengan mengambil uang rakyat. Mana yang lebih anarkis? Mengambil uang rakyat jelas perilaku yang jauh lebih anarkis,” ucapnya.
Ridho menilai ucapan yang merendahkan masyarakat dan siswa justru bisa semakin memperlemah kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan. Ia menyebut aksi anarkis di lapangan hanyalah refleksi dari ketidakpekaan dan arogansi pemimpin dalam merespons persoalan rakyat.
Lebih lanjut, Ridho menekankan pentingnya peran kampus, universitas, dan mahasiswa dalam menjaga ruang kritis masyarakat.
“Kita harus terus bersuara, jangan takut. Tapi tetap hati-hati, bersuara harus dengan data dan kajian yang kuat agar tidak terjerat UU ITE atau aturan hukum lain,” pesannya.
Ia juga berharap gerakan sipil dan mahasiswa tetap konsisten mengawasi para pejabat publik.
“Kalau DPR tidak ditekan, ya akan diam saja, tidur nyenyak,” pungkas Ridho.
“Mereka punya hak untuk bersuara. Kalau seorang pemimpin tidak bisa mendengarkan itu, berarti dia tidak layak jadi pemimpin,” tegasnya.
Ridho juga menanggapi pernyataan Sahroni yang menyebut siswa demonstran anarkis sebagai “brengsek” dan layak ditangkap. Ia melontarkan kritik tajam dengan membandingkan perilaku anarkis siswa dengan pejabat publik.
“Mereka memang anarkis, tapi tidak mengambil uang rakyat. Sementara pejabat publik tidak anarkis secara fisik, tapi anarkis dengan mengambil uang rakyat. Mana yang lebih anarkis? Mengambil uang rakyat jelas perilaku yang jauh lebih anarkis,” ucapnya.
Ridho menilai ucapan yang merendahkan masyarakat dan siswa justru bisa semakin memperlemah kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan. Ia menyebut aksi anarkis di lapangan hanyalah refleksi dari ketidakpekaan dan arogansi pemimpin dalam merespons persoalan rakyat.
Lebih lanjut, Ridho menekankan pentingnya peran kampus, universitas, dan mahasiswa dalam menjaga ruang kritis masyarakat.
“Kita harus terus bersuara, jangan takut. Tapi tetap hati-hati, bersuara harus dengan data dan kajian yang kuat agar tidak terjerat UU ITE atau aturan hukum lain,” pesannya.
Ia juga berharap gerakan sipil dan mahasiswa tetap konsisten mengawasi para pejabat publik.
“Kalau DPR tidak ditekan, ya akan diam saja, tidur nyenyak,” pungkas Ridho.
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.