Era Gadget Cari Calon Siswa Baru? Kombinasikan Dua Strategi ini

Redaksi
0
Berita tentang sekolah bayar pakai GoPay, kombinasi strategi moment marketing dan earned media. Foto tangkap layar

Kolom oleh: HM. Miftahul Arief, Pemred EDUKASIA/ Kandidat Doktor Pemasaran Pendidikan Islam.

EDUKASIA.ID – Lembaga pendidikan sering bicara 'branding', tapi ujung-ujungnya balik lagi ke spanduk atau baliho besar berisi foto kepsek, yayasan, atau bahkan ada foto pengawas.

Tak salah juga sih model seperti itu, apalagi person dalam foto adalah publik figur, bisa jadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat (auto ikut). Namun jika figurnya tidak terkenal, wallahu a'lam deh efeknya.

Padahal di luar strategi (yang sering disebut lagu lama) tersebut, ada satu ruang yang jarang dilirik, yakni memanfaatkan momen. Ya, dalam teori pemasaran dikenal sebagai strategi 'moment marketing', atau pemasaran berbasis momentum publik.

Apa itu? Aggarwal (2021) mendefinisikan 'momen marketing' sebagai teknik promosi yang mendasarkan diri pada berita, peristiwa, atau tren yang sedang berlangsung, digunakan oleh merek di media sosial dan platform digital untuk meraih daya tarik dan meningkatkan kesadaran merek serta penjualan.

Strategi ini sangat minim anggaran (bahkan bisa nol rupiah), tapi efeknya bisa tak kalah dari total pendaftar PPDB (sekarang istilahnya SPMB), jika target pemasaran pendidikan adalah menarik murid.

Ingat, Peter Drucker pernah mengatakan, tujuan utama pemasaran adalah membuat penjualan menjadi tidak penting.

Ungkapan maestro pemasaran itu tercapai ketika pemasar mampu menciptakan proposisi nilai yang begitu menarik, unik, dan relevan sehingga calon pelanggan (dalam hal ini calon wali murid), merasa tergerak untuk melakukan call to action (mendaftarkan anaknya) tanpa perlu persuasi yang menguras energi.

Saya mengalami sendiri situasi ini ketika memimpin sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) di pinggiran Semarang. Madrasah tanpa gedung instagramable, tanpa lapangan luas untuk upacara, dan tanpa dana promosi yang bisa dibandingkan dengan sekolah-sekolah swasta papan atas.

So, kami memilih bermain di ruang pemasaran yang lebih luwes, yaitu strategi low budget high impact, salah satunya memanfaatkan moment marketing.

Ketika itu jagat maya sedang gaduh. Publik ramai bercanda soal Menteri Pendidikan yang baru, Nadiem Makarim (pendiri Gojek atau produk Gopay), dengan meme “SPP pakai GoPay” dan berbagai lelucon lain sejenis. Informasinya ngawur sih, tapi publik sudah terlanjur heboh.

Pada momen seperti itu saya memilih ikut menunggang gelombang. MI kami mengumumkan pendaftaran siswa baru dengan opsi pembayaran via GoPay (lebih tepatnya transfer antar nomor GoPay, karena beum punya QRIS GoPay).

Seperti dijelaskan Aggarwal tadi, inilah promosi berbasis momen, yakni masuk melalui pintu yang sedang terbuka, bukan menunggu undangan. Ketika publik membicarakan satu isu, strategi yang paling tepat adalah mengaitkan diri dengan percakapan tersebut secara relevan.

Meski secara praktik, hampir semua calon wali murid tetap membayar tunai, opsi GoPay itu mungkin lebih mirip figuran. Namun efeknya luar biasa, mereka berbondong-bondong daftar. Madrasah kecil kami dianggap adaptif, melek teknologi, dan 'beda' dibanding kompetitor.

Strategi moment marketing ini tidak berjalan sendirian. Saya kombinasikan dengan strategi 'earned media'.

Harvard Business School Online menjelaskan, 'earned media' adalah paparan publik yang muncul melalui word of mouth, ulasan, penyebutan di media sosial, atau liputan media, yang terjadi karena kualitas dan relevansi konten, bukan karena iklan berbayar.

Dalam kasus kami, 'earned media' diwujudkan dengan menyebarkan rilis ke sejumlah media mainstream tentang MI yang menerima pembayaran GoPay.

Beberapa media kami kirimi rilis dalam rangka PPDB itu. Detik.com adalah yang pertama menayangkan, lalu disusul media-media lain.



Strategi 'earned media' ini efektif (setidaknya menurut pengamatan lapangan saya). Medsos ramai membicarakan MI kami, banyak calon wali murid penasaran, bertanya, dan tak sedikit yang kemudian benar-benar mendaftarkan anaknya,

Goal! Mereka benar-benar melakukakn call to action, dari pembaca jadi wali murid.

Tak berhenti, pihak Gojek ikut merespons. Mereka mendengar berita itu dan menawarkan akun QRIS GoPay untuk madrasah kami (dulu belum segampang sekarang bikin QRIS). Deal. Jadilah MI kami sekolah pertama yang menggunakan QRIS. Lagi-lagi ini jadi amunisi pemasaran.

Sampel di tempat kami tentu tidak bisa digeneralisasi. Tiap lembaga punya tantangan, ekspektasi, dan konteks berbeda. Namun ada satu prinsip yang selalu berlaku, yakni lembaga pendidikan membutuhkan kombinasi strategi pemasaran, terutama lembaga kecil, yang sering kali lebih rentan ditinggalkan loyal customer daripada lembaga besar.

Dalam teori manajemen pendidikan, kepemimpinan sekolah dituntut responsif pada konteks, need a strategic planning dan adaptive leadership. Di lapangan, itu berarti kepala sekolah harus peka pada tren sosial, membaca sentimen masyarakat, dan berani mengambil keputusan yang tidak selalu umum, tetapi tetap relevan, aman, dan etis.

Ini bukan perkara sepele. Banyak sekolah terpukul oleh realitas jumlah murid menurun, kompetisi meningkat, dan tuntutan publik naik. Sekolah yang menunggu diselamatkan oleh regulasi akan kelelahan. Yang bertahan adalah lembaga yang mampu mengelola persepsi publik secara cerdas.

Momentum, jika diolah dengan tepat, bisa menjadi oksigen. Kadang satu langkah kecil, misalnya opsi GoPay yang waktu itu hanya tempelan, sudah cukup untuk mengubah persepsi publik. Dampaknya menjadi dual impact ketika digabungkan dengan strategi 'earned media'.

Publik selalu lebih percaya pada cerita yang mereka temukan sendiri daripada promosi formal yang terlalu rapi. Inilah kekuatan 'earned media', sekolah atau madrasah yang kreatif, cepat, dan kontekstual akan lebih mudah menempel di ingatan masyarakat.

Maaf, ini tidak sedang bicara trik murahan. Ini strategi bertahan hidup lembaga pendidikan di era kompetisi terbuka. Momentum tidak datang dua kali. Jika lembaga pendidikan tidak sigap, ia hanya akan menjadi penonton dalam keramaian yang sebenarnya bisa dimanfaatkannya.

Tapi tentu tak berhenti pada satu strategi saja, sekolah atau madrasah harus terus memperbaiki kualitas pendidikkannya, jadi gak seperti 'tong kosong nyaring bunyinya', dikira bagus, eh ternyata zonk kuaitasnya! hehe.

Jika setuju, maka selamat mencoba!

Posting Komentar

0 Komentar

Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top