100 Remah Hikmah (66): Generasi Westlife, bukan K-pop

Ilustrasi: Foto pixabay

Penulis: Salahuddin Ibnu Sjahad*

EDUKASIA.ID - Boyband yang dibentuk untuk mengajarkan indahnya kebersamaan, tak hanya kesenangan. Itulah kira gambaran saya tentang Westlife, boyband yang dirindukan kawula muda dengan lagu larisnya: my love. 

Boyband lima orang itu memilih bunuh diri daripada berlama-lama eksis dengan pensiun satu persatu. Persahabatan yang bukan untuk kerja alias manggung an sich, tapi juga di dunia nyata. 

Berbeda mungkin dengan kultur musik negeri ini yang cenderung memasukkan personel baru saat kawan lama "gantung mic" atau "gantung gitar", demi eksistensi grup musik yang terlanjur terkenal atau di puncak popularitas. 

Westlife adalah gerbang awal mula saya kenal dan suka musik barat (eropa ataupun amrik) karena lirik dan nada lagu-lagu mereka terdengar elegan. Tidak begitu melankolis semi galau khas pop indonesia.

Atau mungkin kuping saya yang salah ya..? berbeda dengan kebanyakan anda. K-pop? 

Terus terang, saya tak hafal satupun para bintang korea. Dari segi wajah, saya kesulitan membedakan yang satu dengan lainnya. 

Kita tahu bahwa anak muda Korea banyak yang "ketergantungan" terhadap operasi plastik. Sampai-sampai para orang tua bisa pangling dengan anak sendiri yang pulang dari klinik bedah dan tiba-tiba berwajah artis. 

Mungkin mereka termotivasi untuk mematahkan teori yang dipopulerkan Kiai Anwar Zahid tetangga saya: "wong sing elek iku musti awet elek'e. Sampe mati yo tetep elek..

Suatu saat mereka perlu mengundang pak yai Anwar untuk mauidhoh hasanah di korea dan yang datang bukannya ibu-ibu seperti yang terlihat di video-video pengajian melainkan cewek-cewek ABG yang cantiknya kayak Snow White itu. 

Dari segi namanya, terlalu ruwet juga untuk membedakan apalagi menghafal nama lengkap masing-masing. 

Jika di Indonesia sekarang para ortu muda berlomba memberi nama bayi mereka dengan nama yang panjang atau yang langka terdengar di telinga (dan kadang dari bahasa campuran), orang-orang di korea kesulitan move on dari pemakaian nama yang mirip-mirip. 

Paket pos untuk teman yang bernama Lee di China atau Kim di Korea, sudah pasti akan merepotkan kurir pengantar karena dalam satu desa atau satu apartemen saja bisa banyak terdapat nama tersebut.

Satu lagi alasan saya tak suka pop korea karena saya tak bisa dan tak harus merasa bisa bahasa korea, walau kata banyak orang bahwa musik adalah bahasa universal orang sedunia. 

Apalagi abjad huruf pinyin yang kebanyakan bulatan menurut saya aneh dan misterius, dibandingkan abjad jepang yang cenderung kotak-kotak atau huruf chinese yang dominan garis diagonalnya. 

Terima kasih kepada mas Bondan Prakoso dkk terutama generasi muda Jogja yang memperkenalkan pop jawa kepada dunia. Hidup ini indah kalau kita selalu kreatif.


**** * ****

*Salahuddin Ibnu Sjahad atau Mohammad Salahuddin Al-Ayyubi, seorang guru mata pelajaran Ilmu Tafsir di MAN Sumenep, peraih beasiswa studi S2 melalui Beasiswa Indonesia Bangkit di UIN Sunan Kalijaga. Tulisan ini merupakan kompilasi statusnya di Facebook yang kemudian dijadikannya buku berformat PDF, diberinya judul "100 Remah Hikmah: Secuil Cerita dan Sudut Pandang Baru dalam Menikmati Rutinitas Kehidupan."

buttons=(Accept !) days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top