Catatan Harian Guru Pemula (2): Ketimpangan Kelas Agama

Redaksi
0
Ilustrasi pelajar. Foto Unsplash.

EDUKASIA.ID - Sebagai guru dengan latar pendidikan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, sudah sewajarnya saya lebih sering berinteraksi dengan siswa jurusan atau peminatan agama. Intensitas itu memunculkan kegundahan tersendiri setelah melihat beberapa ketimpangan dan paradoks.

Satu. Idealnya, kelas agama tidak campur putra putri. Dalam tradisi Islam klasik, ikhtilath (bercampur) adalah satu hal yang harus dihindari santri yang tafaqquh fiddiin. Mekanisme ini sulit diterapkan karena peminat kelas ini fluktuatif, tak tentu komposisi gendernya, meski selalu tak pernah lebih dari satu rombel.

Dua. Kuantitas atau kualitas seringnya tak seimbang atau tak proporsional. Contoh tahun 2019 berikut:

Kelas 12 agama timpang kualitas. Duet maut Arifa Mufidah dan Shafira berlari kencang, sementara lainnya sulit diajak berlari.

Kelas 10 agama timpang kuantitas karena putra cuma 3 siswa. Meski tak ada diskriminasi, minoritas menimbulkan inferioritas. Walhasil, trio ganteng Masdidik dan kawan-kawan itu bak silent student.

Kelas 11 agama paling balance, baik kualitas maupun proporsi gendernya. Iqbal, Mufahhan, dan kawan-kawan bisalah diadu cepat dengan Lina, Dina, Yana dkk. Sayangnya, momentum kebangkitan mereka tak bisa optimal sejak pandemi mewajibkan sekolah daring.

Tiga. Masalah klasik, utamanya di Madura. Lulusan aliyah lebih memilih kerja (semisal jaga toko di Jakarta) karena lebih nyata menghasilkan daripada buang duit untuk kuliah. Kalau tidak, dinikahkan. Yang melanjutkan ke kampus atau pondok tak signifikan. Lina dan Tini adalah contoh "berlian" kelas agama yang memilih jalur menikah itu. Tak salah, memang. Mereka telah berjuang dini menjadi al-madrasah al-ula, saat teman-temannya masih berkutat belajar metode pendidikan islami.

Empat. Yang timpang saya sendiri. Begitu antusiasnya saya mengajar di kelas agama, ladang lepas kontrol. Melebihi durasi, tapi seringnya memberi penugasan atau asesmen yang tak biasa, sehingga beberapa kali saya kena komplain. Saya lupa bahwa setiap siswa harus "makan" belasan menu pelajaran berbeda, sementara guru "hanya" memberi satu menu untuk belasan kelas. Semoga Allah mengampuni saya.

* Pemilik akun FB Salahuddin Ibnu Sjahad dan IG @ibnusjahad ini adalah seorang guru pengampu mata pelajaran Al-Qur'an Hadis dan Tafsir di MAN Sumenep, alumni Beasiswa Indonesia Bangkit Program Gelar S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tags

Posting Komentar

0 Komentar

Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top