Catatan Harian Guru Pemula (4): Madrasah Avatar

Redaksi
0
Ilustrasi sisa madrasah. Foto Unsplash.

Penulis : Mohammad Salahuddin Al-Ayyuubi, M.Ag*

EDUKASIA.ID - Untuk menjaga keseimbangan dan perdamaian dunia, setiap masa perlu ada seorang avatar penguasa empat elemen tersebut, yang dipilih oleh "alam" bergiliran dari empat kerajaan. Tentu avatar tidak terlahir dengan anugerah yang terinstal, tetapi lewat pelatihan panjang dan terkadang menyakitkan. Intinya, kekuatan besar, keunggulan di berbagai bidang, tak bisa diperoleh secara instan.

Sama seperti avatar, seperti manusia biasa pula, lembaga juga punya masa kedewasaan yang tidak lantas linier dengan hitungan usianya. Ukuran balignya sebuah madrasah tidak melulu soal prestasi, tetapi lebih kepada kesiapan, kecakapan. Bahasa Qur'annya, rusyd. Dengan rusyd inilah, siapa pun kepalanya, apa pun tantangan internal dan eksternalnya, madrasah akan tetap konsisten menjaga amanah dari wali murid dengan baik, serta membuahkan outcome yang ideal sesuai kebutuhan perguruan tinggi, dunia kerja, atau pun masyarakat.

Sebagai salah satu taktik rebranding madrasah, Kemenag pernah menggagas pemetaan keunggulan masing-masing lembaga agar masyarakat awam paham ke mana anak-anak mereka akan berlabuh menambatkan hati saat PPDB. Walhasil, muncullah dua model madrasah berasrama: MAN IC dengan fokus akademik dan MA PK dengan ciri khas penguatan keislaman.

Belakangan, jumlah MA PK dirasa kurang dan lantas makin banyak MA swasta dan negeri yang di-SK-kan mendapat label Program Keagamaan meski tanpa diimbangi dukungan pendanaan full sebagaimana MA PK seniornya.

Makin banyaknya lomba berbasis penelitian juga membuat MAN IC tak lagi memadai untuk bersaing dengan SMA/SMK, sehingga perlu dimunculkan lagi madrasah dengan keunggulan riset. Tentunya MAN yang sudah punya track record pernah mengikutsertakan siswanya dalam lomba MYRES, KOPSI, atau sejenis dengan mudah mendapat SK MAN Riset.

Masalah belum selesai. Madrasah di daerah atau pelosok yang siswanya tak mungkin diajak mikir setinggi langit di dunia riset, akan sepi peminat jika dibranding dengan keagamaan, dan utamanya banyak yang tak lanjut kuliah, mau enggak mau harus dipikirkan juga dilabeli apa. Walhasil, dengan menggaungnya isu vokasi di seantero nusantara, apalagi dorongan mendirikan SMK makin masif dari pemerintah, kemenag menerjemahkan momentum itu dengan mendirikan dua MAKN serta mengorganisir mana saja MA yang siap diberi label MA Plus Keterampilan. Jenis keterampilan yang diadakan oleh madrasah menyesuaikan kebutuhan pasar di sekitarnya dan SDM pengajar yang dimiliki. Maka, ada madrasah yang hanya punya satu-dua jurusan, ada pula yang langsung punya banyak.

Konsepnya, mestinya tiap madrasah memilih salah satu dari beberapa branding keunggulan di atas. Faktanya, banyak juga lembaga yang merasa "multitasking". Khas Indonesia banget. Logika yang dipakai pengelola, makin banyak branding, makin mudah menjaring siswa sesuai bakat minat yang berbeda, makin banyak peluang untuk menggondol prestasi di berbagai bidang, yang akhirnya berefek pada tingginya penilaian akreditasi serta naiknya grade lembaga di mata masyarakat, khususnya perguruan tinggi.

Saat saya menelaah SK terbitan Kemenag beberapa tahun lalu, jelas sekali ada beberapa madrasah yang diberi label keagamaan, riset, dan plus keterampilan. Sebagian dari yang merangkap 3 keunggulan itu masih pula menjadi pilot project penerapan program SKS, seperti halnya diterapkan pada banyak SMA unggulan. Dari sedikit yang merangkap 4 keunggulan itu, ada pula beberapa yang langka, karena punya keunggulan kelima: bekerja sama dengan kampus ITS menerapkan kurikulum TIK setara kuliah D1 di madrasahnya, dengan label Mitra Prodistik ITS.

Ini tidak bicara tentang lelahnya pendidik atau peserta didik. Logika "yang penting jalan dulu" sering dipakai tanpa diiringi monitoring evaluasi yang terukur. Sistem harus terbangun rapi agar banyaknya branding itu tidak menjadi benang kusut. Dalam hal ini, saya dan dua kolega, Pak Heri dan Pak Aldi, sering mendiskusikan nasib madrasah avatar seperti itu, bagaimana madrasah dipaksa dewasa, sementara sumber daya dan sumber dana tak selalu sejalan dengan harapan. Betapa jelas perbedaannya madrasah yang "bersiap-siap" dan yang "telah siap" menjadi avatar yang saya maksudkan itu.

Sekali lagi, ini bukan tentang suatu lembaga tertentu. Gagasan besarnya tentu adalah tentang bagaimana road map madrasah di negeri ini tak hanya berhenti pada labeling, tak hanya terukur pada gemilangnya prestasi lomba, tetapi yang lebih esensial dan substantif dari itu semua: turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, serta tujuan profetik meneruskan perjuangan utama kerasulan Nabi Muhammad: menyempurnakan akhlak mulia. Harmonisasi antara ilmu dan adab para siswa itulah yang akhir-akhir ini masih terus menjadi PR yang belum selesai di sekolah dan madrasah yang berlimpah label keunggulan.

* Pemilik akun FB Salahuddin Ibnu Sjahad dan IG @ibnusjahad ini adalah seorang guru pengampu mata pelajaran Al-Qur'an Hadis dan Tafsir di MAN Sumenep, alumni Beasiswa Indonesia Bangkit Program Gelar S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Posting Komentar

0 Komentar

Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top