Ilustrasi siswa belajar. Foto Unsplash
Penulis : Mohammad Salahuddin Al-Ayyuubi, M.Ag*
EDUKASIA.ID - Guru itu tak (cukup) hanya mengajar, mendidik, atau meneladankan, tetapi perlu juga bertirakat, muhasabah, mujahadah, atau riyadlah. Kenyataan itu saya sadari sejak menjadi teman belajar di Ath-Thullab, sebuah Pondok Pesantren yang berafiliasi penuh pada Madrasah TBS Kudus. Santrinya yang berasal dari kelas persiapan MTs hingga kelas XII MA TBS memiliki karakter dan potensi yang berbeda-beda. Cara menghadapi masing-masing pun harus berbeda.
Mode autopilot bisa saya gunakan jika berhadapan dengan santri yang "lurus" dan sudah punya kedewasaan yang cukup untuk menata dirinya sendiri. Guru Quran cukup hadir di majlis setoran binnadhor, mereka sudah siap mengantre, bahkan bacaannya pun sudah lancar. Saat Kiai atau guru kitab mengisi majlis pengajian kitab kuning, mereka ibarat sprinter yang sudah terbiasa berlari kencang seakan tanpa hambatan. Sebutlah di antaranya: Abdur Rouf "Yaman", Saifudin Abdurrohman, M Abdul Rouf, A Zaky Faiz Achmad Zaky Faiz , Ulil Albab, dan sebagaianya.
Repotnya, mode autopilot itu jarang saya nyalakan karena mayoritas santri usia remaja masih cukup labil. Tipe kedua ini masih cukup melegakan saya: Santri baru usia lulusan SD/MI yang umumnya belum terpengaruh, mudah dibentuk pemikiran dan akhlaknya, mudah diarahkan ke jalan yang terbaik. Sebutlah di antaranya: Mahesa Feby, Agus Farikh Rosyid, M. Toha, dan sebagainya.
Jalan sudah mulai cukup sulit ditebak di luar kedua tipe santri di atas. Ada yang aslinya sudah di track yang benar tapi belakangan kami mengikhlaskan karena mereka memilih pindah pondok. Di lembaga lain, mungkin santri seperti ini akan dibujuk sebisa mungkin agar tetap bertahan. Tetapi, di Ath-Thullab, saya dan rekan lain mendukung penuh asalkan di tempat tujuan ia bisa makin berkembang, bukan malah merusuhi. Sebutlah di antaranya: Andi Hidayat Syech Maulana, Nur Aman, Fauzul A'la, Adil, Alwi Syihab, dan sebagainya.
Ada yang cara berpikir atau perilakunya sering bikin saya garuk-garuk kepala, tetapi loyalitasnya luar biasa, dan menjadi warna tersendiri bagi pondok. Sebutlah A. Romadhon Fajar Pamungkas, Rizal Wahid Hidayat, Ghoni Ramadhan, dan sebagainya.
Ada yang sejenis itu. Loyal banget, menurut juga iya. Pintar, tanggap dan cekatan jadi nilai plusnya. Plot twistnya, terpaksa berhenti mondoknya sebab kondisi ekonomi keluarganya sedang tak baik-baik saja, sementara kami tak punya kewenangan untuk memberinya beasiswa. Sebutlah Syarif Khabibullah salah satu contohnya.
Ada yang bikin saya segan sebab orang tuanya sesama praktisi pendidikan, atau bahkan dosen kampus ternama sehingga tahu betul plus minus kami dalam menangani putranya. Sebutlah contohnya: Haidar Al Praditya dan adiknya.
Ada yang hampir tak bisa diharapkan karena dari awal tidak bisa dan sejalannya waktu tidak tampak kesungguhannya dalam belajar, walau pun ini jarang sekali. Contohnya, Syahrul Syahroni.
Ada yang fluktuatif. Dan santri tipe ini membludak. Tak bisa ditebak jalan pemikiran maupun perilakunya. Terkadang penurut, kadang kala cemberut. Sesekali memuji kami, seringnya menguji kami. Tak mungkin saya berlaku keras karena beberapa dari mereka fisiknya jauh lebih besar dari saya. Sebaliknya, jika saya terlalu lembut, hanya akan dianggap angin lalu yang menggelikan telinga. Saya pribadi menganggapnya biasa. Namanya juga darah muda. Sebutlah beberapa yang fenomenal: Azka Mbandoet Back , Agung lurah Agung Pramana , Haris Fatwa, Faizar Rifqi, Syamsul Wahyudi, M. Alfi Azizi, M. Amin, Farid Lutfi Farid AS , dan sebagainya.
Menghadapi beragam karakter itu, saya tak pilah pilih dalam mendoakan. Semua saya angkut dalam doa harian hingga kini, jauh setelah saya pamitan sekitar tujuh tahun lalu. Meski daya tirakat saya masih jauh dari kata cukup, betapa bersyukurnya saya ketika saat ini melihat sebagian dari mereka telah jadi dosen, guru, pengusaha, aktivis di kampusnya, atau mengikuti jejak saya menghafal Al-Qur'an. Saya ikut bangga atas pencapaian mereka, meski pun sebagian masih merasa belum mencapai apa-apa. Setidaknya, mereka telah berhasil mewarnai hidup masing-masing, entah dengan warna apa. Entah saya diingat sebagai teman belajar yang baik atau tidak.
Seorang kawan pernah berpendapat setengah bercanda bahwa guru itu ada dua tipe: pembina dan pembinasa. Semoga Allah selalu menjaga saya agar tidak tergolong tipe yang kedua.
* Pemilik akun FB Salahuddin Ibnu Sjahad dan IG @ibnusjahad adalah seorang guru pengampu mata pelajaran Al-Qur'an Hadis dan Tafsir di MAN Sumenep, alumni Beasiswa Indonesia Bangkit Program Gelar S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.