Ilustrasi. Foto Unsplash.
Penulis : Mohammad Salahuddin Al-Ayyuubi, M.Ag*
EDUKASIA.ID - Saya sering kali menjumpai siswa yang berminat tapi tak diimbangi bakat dan sebaliknya, berbakat tapi sama sekali tak berminat.
Beda lagi dengan dua teman saya, Anam dan Faqih. Keduanya berminat dan berbakat menekuni dunia ilustrasi. Khususnya ilustrasi wajah, cukup bermodal pensil, gambaran realis yang dihasilkan selalu membuat saya terpukau. Jalan hidup berkata lain. Anam, teman sekolah saya memilih jalan nafkah yang lebih menghasilkan dengan menjadi pedagang kaki lima sejak lulus aliyah dulu. Faqih, mengabaikan bakat ilustrasinya itu demi cita-citanya yang mulia: menjadi penghapal Al-Qur'an. Kesamaan keduanya adalah kesempatan yang tak berpihak sebab pilihan hidup terkadang tak banyak.
Betapa seringnya saya melihat murid saya yang berminat dan berbakat untuk jadi dokter, tetapi terhalang sebab tak punya uang untuk kuliah kedokteran yang super mahal itu. Sama seringnya dengan saya melihat murid yang mengubur impiannya masuk tentara atau polisi sebab alasan yang sama, "tak punya uang". Maka, saat suatu hari saya melihat seorang siswa aktivis remaja masjid madrasah tak bisa menjawab apa yang akan dilakukannya setelah lulus, saya mantap menawarkannya kesempatan untuk mondok tahfiz gratis. Ternyata ia berminat, meski ia tak tahu ia berbakat atau tidak. Tak apa, keterampilan bisa diasah dengan kesungguhan. Walhasil, kemudian Mashuri saya antarkan ke pondok di Surabaya yang diasuh oleh paman saya. Keluarganya terharu sekali karena ada putranya yang bisa mondok meski tidak bisa memberi sekedar uang saku yang layak.
Apakah tambahan kesempatan saja cukup?
Ada dua siswa dari kelas yang sama, punya minat dan bakat yang sama pula. Suatu ketika mereka diberi kesempatan yang sama pula, untuk dilatih, digembleng rutin dengan fasilitas yang sama di sekolah oleh guru yang tepat. Ternyata hasilnya jauh berbeda. Ilham lebih jago dalam sketsa manual, dengan pensil. Sementara itu, Farhan jago dalam gambar digital. Jika bakat Ilham saya sadari di tengah saya mengajar Al-Quran Hadis, bakat Farhan saya temukan ketika menyisir status WA para siswa di luar jam sekolah. Lalu, mengapa Farhan bisa meraih juara, sedangkan Ilham tidak? Sebab dukungan. Ilham berasal dari keluarga yang kurang mampu. Bisa bersekolah di MAN saja sudah anugerah baginya. Maka, satu-satunya kesempatan ia mengasah kemampuannya dalam bidang desain grafis ya di sekolah, sementara waktu itu adalah awal musim pandemi. Berbeda dengan Farhan yang didukung penuh oleh keluarganya, termasuk dengan sarana laptop di rumah yang spesifikasinya sepadan untuk kebutuhan grafis.
Sekarang, kita geser. Farhan punya saudara kembar di kelas lain, Ferdi. Keduanya punya minat, bakat, kesempatan, dan daya dukung yang sama dari keluarga. Lantas, apakah keduanya selalu bisa meraih prestasi yang sama? Tentu tidak. Apalagi dalam satu perlombaan tidak ada juara satu bersama. Berarti ada faktor lain? Iya, keberuntungan. Hal yang tak bisa kita pastikan penyebabnya, tetapi bisa kita perjuangkan. Dengan apa? Kesiapan. Kesempatan bisa datang saat kau siap atau pun tidak siap, tetapi keberuntungan hanya akan berpihak pada siapa yang lebih siap menyambutnya dengan kesungguhan dan kesabaran.
Ketika beberapa kali saya menang lomba atau mendapat penghargaan, prinsip yang saya tanamkan dalam diri ini adalah kebetulan saja yang lebih bagus dari saya sedang tidak ikut atau tidak siap. Mengapa? Agar tak berbangga diri lantas berpuas pada pencapaian saat ini.
* Pemilik akun FB Salahuddin Ibnu Sjahad dan IG @ibnusjahad adalah seorang guru pengampu mata pelajaran Al-Qur'an Hadis dan Tafsir di MAN Sumenep, alumni Beasiswa Indonesia Bangkit Program Gelar S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.