Ilustrasi. Foto Unsplash.
Penulis : Mohammad Salahuddin Al-Ayyuubi, M.Ag*
EDUKASIA.ID - Sependek pengamatan saya beberapa tahun sebagai guru pemula, ada empat tipe guru berdasar pada penyelesaian masalah yang mereka hadapi.
Tipologi tersebut sesuai bentuk piramida dan saya jelaskan di bawah ini secara urut dari yang paling bawah dulu, atau yang jumlahnya paling mayoritas, hingga yang paling sedikit populasinya.Semoga saja pengamatan saya salah dan sangat mungkin cenderung subyektif.
1. Abnormal:
Kondisi satu, guru yang belum selesai masalahnya di sekolah dan berdampak pada kehidupannya di luar sekolah. Contoh: gaji belum bisa mengcover kebutuhan sehingga mau tak mau harus mencari penghasilan tambahan di luar jam mengajar.
Kondisi dua, guru yang belum selesai masalahnya di luar sekolah, berdampak secara langsung pada kinerjanya, dan kadang kala berdampak tidak langsung kepada siswanya di sekolah. Contoh: Terlalu lelah mencari kerja sampingan sebab gaji kurang dari cukup sehingga saat mengajar kurang bersemangat, tampak lesu atau mengantuk.
Kedua kondisi yang saling berkaitan itu umumnya terjadi karena sistem manajerial sekolah yang belum berpihak pada kesejahteraan guru sehingga bisa dikatakan bahwa abnormalitas guru adalah buah (atau korban) dari keadaan. Di sisi lain, guru belum mampu bangkit dari lingkaran setan itu, entah merasa nyaman pada zona tidak aman atau hanya karena belum sepenuhnya sadar.
Diakui atau tidak, guru abnormal (sesuai dengan penjelasan di atas) adalah tipe guru yang populasinya paling banyak ditemui di negeri ini.
2. Subnormal:
Kondisi satu, guru yang belum selesai masalahnya di sekolah dan mencari pelampiasannya di luar sekolah. Contoh: gaji mengajar kurang dari cukup. Dibanding mencari penghasilan lain, guru lebih sering meluapkan emosi negatifnya dengan cara yang negatif pula, termasuk dengan menyalahkan keadaan, selalu mengkritik pimpinan, terjerat pinjol atau judol, hingga melakukan KDRT kepada pasangan atau anaknya di rumah. Na'udzubillah.
Kondisi dua, guru yang belum selesai masalahnya di luar sekolah lantas mencari pelampiasannya di sekolah dengan relasi kuasa yang ia punya. Tak hanya berdampak secara langsung pada kinerjanya, tapi juga kepada siswa, guru lain, pimpinan bahkan lembaga.
1. Abnormal:
Kondisi satu, guru yang belum selesai masalahnya di sekolah dan berdampak pada kehidupannya di luar sekolah. Contoh: gaji belum bisa mengcover kebutuhan sehingga mau tak mau harus mencari penghasilan tambahan di luar jam mengajar.
Kondisi dua, guru yang belum selesai masalahnya di luar sekolah, berdampak secara langsung pada kinerjanya, dan kadang kala berdampak tidak langsung kepada siswanya di sekolah. Contoh: Terlalu lelah mencari kerja sampingan sebab gaji kurang dari cukup sehingga saat mengajar kurang bersemangat, tampak lesu atau mengantuk.
Kedua kondisi yang saling berkaitan itu umumnya terjadi karena sistem manajerial sekolah yang belum berpihak pada kesejahteraan guru sehingga bisa dikatakan bahwa abnormalitas guru adalah buah (atau korban) dari keadaan. Di sisi lain, guru belum mampu bangkit dari lingkaran setan itu, entah merasa nyaman pada zona tidak aman atau hanya karena belum sepenuhnya sadar.
Diakui atau tidak, guru abnormal (sesuai dengan penjelasan di atas) adalah tipe guru yang populasinya paling banyak ditemui di negeri ini.
2. Subnormal:
Kondisi satu, guru yang belum selesai masalahnya di sekolah dan mencari pelampiasannya di luar sekolah. Contoh: gaji mengajar kurang dari cukup. Dibanding mencari penghasilan lain, guru lebih sering meluapkan emosi negatifnya dengan cara yang negatif pula, termasuk dengan menyalahkan keadaan, selalu mengkritik pimpinan, terjerat pinjol atau judol, hingga melakukan KDRT kepada pasangan atau anaknya di rumah. Na'udzubillah.
Kondisi dua, guru yang belum selesai masalahnya di luar sekolah lantas mencari pelampiasannya di sekolah dengan relasi kuasa yang ia punya. Tak hanya berdampak secara langsung pada kinerjanya, tapi juga kepada siswa, guru lain, pimpinan bahkan lembaga.
Contoh: menggelapkan dana titipan siswa untuk melunasi pinjol, markup anggaran kegiatan agar marjinnya bisa jadi cuan penambal kekurangan penghasilan, tindakan asusila terhadap siswa atau selingkuh dengan sesama guru sebab merasa pasangan di rumah belum sesuai harapan.
Na'udzubillah.
Pada kedua kondisi yang saling berkaitan itu, memang sistem manajerial dan pengawasan di sekolah belum berpihak pada kesejahteraan guru. Masalahnya, guru bukan hanya korban dari keadaan, tetapi mencari korban lain demi pelampiasan.
Na'udzubillah.
Pada kedua kondisi yang saling berkaitan itu, memang sistem manajerial dan pengawasan di sekolah belum berpihak pada kesejahteraan guru. Masalahnya, guru bukan hanya korban dari keadaan, tetapi mencari korban lain demi pelampiasan.
Hal itu terjadi karena dominasi emosi negatif yang tak terkelola dengan baik. Selama ini, calon guru (baik saat kuliah maupun PPG) hanya diajari metode mengajar yang benar dan penguasaan materi ajar yang baik, tanpa pernah dilatih mengelola emosi negatifnya, tanpa pernah diuji kemampuannya menghadapi beragam ujian hidup yang sering datang tiba-tiba.
Nyatanya, guru subnormal (sesuai dengan penjelasan di atas) memang ada (cukup banyak) di sekitar kita. Semoga saya salah dalam menempatkannya di posisi kedua terbanyak. Harapannya tentu guru seperti ini populasinya paling sedikit, dan semoga Allah menghindarkan saya dari tipe ini.
3. Normal:
Kondisi satu, guru yang masalahnya di sekolah memang belum (atau tak pernah) selesai, tetapi ketika keluar area sekolah ia tak pernah membawa ke manapun masalah itu. Contoh: gaji kurang. Meski ia bekerja sampingan, itu untuk have fun, penyaluran hobi, membantu pasangan, dan dilakukan dengan senang hati sehingga mindset kerjanya bukan sebab gajinya kurang, tetapi karena perintah Allah untuk mencari rezeki dari banyak jalan.
Kondisi dua, guru yang masalahnya di luar sekolah memang belum (atau tak pernah) selesai, tetapi ketika masuk area sekolah ia tak pernah membawa serta masalah itu. Contoh: anak rewel seharian tapi mood mengajar tak terganggu. Cekcok dengan pasangan berhari-hari tapi gaya mengajar masih tetap prima.
Apakah guru seperti ini ada? Saya yakin tetap ada, meski yang konsisten berkarakter normal jumlahnya tak begitu banyak. Seperti halnya derajat keimanan yang kata ulama bisa bertambah dan berkurang, guru pun sama. Setiap guru mungkin pernah (berusaha) berada di level ini meski tak selalu bisa mengistikamahkannya.
4. Supranormal:
Guru yang merasa tak punya masalah di mana pun berada. Semisal datang suatu masalah, seketika diselesaikan dan beres sudah. Guru semacam ini sejatinya bukan tak punya masalah, tetapi sudut pandangnya yang selalu positif membuatnya selalu berprinsip bahwa di balik masalah ada berkah dan hikmah. Masalah malah menjadi inspirasi baginya untuk mengajar lebih dahsyat.
Nyatanya, guru subnormal (sesuai dengan penjelasan di atas) memang ada (cukup banyak) di sekitar kita. Semoga saya salah dalam menempatkannya di posisi kedua terbanyak. Harapannya tentu guru seperti ini populasinya paling sedikit, dan semoga Allah menghindarkan saya dari tipe ini.
3. Normal:
Kondisi satu, guru yang masalahnya di sekolah memang belum (atau tak pernah) selesai, tetapi ketika keluar area sekolah ia tak pernah membawa ke manapun masalah itu. Contoh: gaji kurang. Meski ia bekerja sampingan, itu untuk have fun, penyaluran hobi, membantu pasangan, dan dilakukan dengan senang hati sehingga mindset kerjanya bukan sebab gajinya kurang, tetapi karena perintah Allah untuk mencari rezeki dari banyak jalan.
Kondisi dua, guru yang masalahnya di luar sekolah memang belum (atau tak pernah) selesai, tetapi ketika masuk area sekolah ia tak pernah membawa serta masalah itu. Contoh: anak rewel seharian tapi mood mengajar tak terganggu. Cekcok dengan pasangan berhari-hari tapi gaya mengajar masih tetap prima.
Apakah guru seperti ini ada? Saya yakin tetap ada, meski yang konsisten berkarakter normal jumlahnya tak begitu banyak. Seperti halnya derajat keimanan yang kata ulama bisa bertambah dan berkurang, guru pun sama. Setiap guru mungkin pernah (berusaha) berada di level ini meski tak selalu bisa mengistikamahkannya.
4. Supranormal:
Guru yang merasa tak punya masalah di mana pun berada. Semisal datang suatu masalah, seketika diselesaikan dan beres sudah. Guru semacam ini sejatinya bukan tak punya masalah, tetapi sudut pandangnya yang selalu positif membuatnya selalu berprinsip bahwa di balik masalah ada berkah dan hikmah. Masalah malah menjadi inspirasi baginya untuk mengajar lebih dahsyat.
Contoh: Merasakan "kenakalan" siswanya di sekolah, jadi bahan energi positif sehingga di rumah malah makin sayang pada anak dan berusaha mendidiknya sekuat tenaga agar "kenakalan" itu tak terulang pada anaknya. Sebaliknya, ketika di rumah selalu mendapat kritikan pedas dari pasangan malah menjadi pemicu aktifnya letupan-letupan energi positif sehingga tiba di sekolah dengan aura guru yang siap mengajar (bukan menghajar) siswanya.
Pada intinya, tipe keempat ini adalah guru borderless. Tanpa sekat batas lembaga bernama sekolah, dia akan menjadi guru di mana pun. Ibarat telah menjiwai profesi guru, sudah mendarah daging, merasuk ke dalam setiap langkah hidupnya, sehingga di mana pun ia berada, menjadi cerminan guru yang sebenarnya: guru adalah orang yang bisa DIGUGU perkataannya dan DITIRU perilakunya.
Guru bertipe supranormal ini memang tergolong langka. Jika ada satu saja guru semacam ini di setiap sekolah, maka visi Indonesia Emas bukanlah impian belaka. Satu guru dahsyat bisa menginspirasi (minimal) sepuluh siswa hebat. Dan bukankah Soekarno pernah berkata hanya butuh sepuluh pemuda saja untuk menggoncang dunia?
Pada intinya, tipe keempat ini adalah guru borderless. Tanpa sekat batas lembaga bernama sekolah, dia akan menjadi guru di mana pun. Ibarat telah menjiwai profesi guru, sudah mendarah daging, merasuk ke dalam setiap langkah hidupnya, sehingga di mana pun ia berada, menjadi cerminan guru yang sebenarnya: guru adalah orang yang bisa DIGUGU perkataannya dan DITIRU perilakunya.
Guru bertipe supranormal ini memang tergolong langka. Jika ada satu saja guru semacam ini di setiap sekolah, maka visi Indonesia Emas bukanlah impian belaka. Satu guru dahsyat bisa menginspirasi (minimal) sepuluh siswa hebat. Dan bukankah Soekarno pernah berkata hanya butuh sepuluh pemuda saja untuk menggoncang dunia?
* Pemilik akun FB Salahuddin Ibnu Sjahad dan IG @ibnusjahad adalah seorang guru pengampu mata pelajaran Al-Qur'an Hadis dan Tafsir di MAN Sumenep, alumni Beasiswa Indonesia Bangkit Program Gelar S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.