Ilustrasi. Foto Unsplash.
Penulis: Ari Irfan Fahruddin
EDUKASIA.ID - Semakin hari, dunia terasa makin riuh. Kita dibanjiri suara dari segala arah: notifikasi gadget, potongan video yang melintas cepat, hingga opini-opini yang berseliweran tanpa jeda di media sosial. Semua berebut ruang eksistensi, berlomba untuk dilihat, didengar, dan diakui. Dalam lanskap tersebut, suasana tenang semakin jarang. Begitu juga dengan kebaikan—apalagi kebaikan yang dilakukan secara diam-diam.
Realitas ini juga dirasakan oleh banyak orang yang sedang menekuni jalan ilmu dan pencarian makna hidup. Aktivitas mereka tak lagi hanya berkisar pada buku-buku klasik atau jadwal pengajian rutin, tetapi kini juga menyatu dengan dunia digital yang terus bergerak tanpa henti.
Belajar bisa dilakukan lewat YouTube, diskusi berlangsung di grup WhatsApp, dan dakwah pun menjelma menjadi konten TikTok. Dunia pengetahuan dan spiritualitas menjadi semakin terbuka, namun pada saat yang sama juga semakin dipenuhi gangguan yang menyita perhatian.
Di tengah hiruk-pikuk ini, muncul satu pertanyaan sunyi yang layak direnungkan: masih mungkinkah menjadi baik di tengah dunia yang tak henti menuntut kita untuk tampil? Masih bisakah kita beramal dengan tulus, ketika kebaikan yang sunyi tak lagi dianggap relevan?
Dalam dunia yang mendorong semua orang untuk terlihat, mampukah kita ikhlas untuk cukup dikenal oleh Allah saja?
Di tengah hiruk-pikuk ini, muncul satu pertanyaan sunyi yang layak direnungkan: masih mungkinkah menjadi baik di tengah dunia yang tak henti menuntut kita untuk tampil? Masih bisakah kita beramal dengan tulus, ketika kebaikan yang sunyi tak lagi dianggap relevan?
Dalam dunia yang mendorong semua orang untuk terlihat, mampukah kita ikhlas untuk cukup dikenal oleh Allah saja?
Pertanyaan ini membawa kita pada sebuah ayat yang menyejukkan sekaligus menampar:
اِنْ اَحْسَنْتُمْ اَحْسَنْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْ ۗوَاِنْ اَسَأْتُمْ فَلَهَاۗ
“Jika berbuat baik, (berarti) kamu telah berbuat baik untuk dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, (kerugian dari kejahatan) itu kembali kepada dirimu sendiri” (QS. Al-Isra’: 7) terjemah (https://quran.kemenag.go.id/)
Godaan Menjadi Baik di Era Eksistensi Digital
Menjadi baik bukan hal baru. Tapi menjadi baik tanpa harus dilihat—itulah tantangan zaman ini.
QS. Al-Isra’ ayat 7 mengingatkan bahwa kita tak bisa berpura-pura dalam spiritualitas. Apa yang kita tabur, itu pula yang akan kita tuai. Jika niatnya karena Allah, maka balasannya dari Allah. Tapi jika niatnya untuk dilihat, maka mungkin yang kita peroleh hanyalah itu: pujian yang cepat lewat, komentar yang tak menumbuhkan, dan popularitas yang fana.
Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad SAW:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: "Sesungguhnya amal perbuatan itu bergantung pada niat, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan." (HR. Bukhari dan Muslim) (Arbain Nawawi, Hadist nomor 1)
Bagi santri Gen Z, godaan ini hadir dalam bentuk yang lebih halus. Ingin menjadi influencer Islami, ingin kontennya viral, ingin dakwahnya dikagumi. Semua niat itu bisa saja baik—tapi harus selalu diuji. Sebab kadang, godaan tampil sebagai baik bisa menggeser proses untuk benar-benar menjadi baik.
Maka menjadi penting untuk bertanya, setiap kali kita hendak berbuat sesuatu: ini karena siapa? Jika jawabannya bukan “karena Allah”, barangkali kita perlu jeda sejenak.
Kesendirian Spiritual: Momen Terbaik untuk Menguatkan Niat
Dalam hiruk-pikuk era digital, kesendirian kadang dianggap mengganggu. Kita dibiasakan untuk selalu terhubung—online, update, ikut percakapan, hadir dalam ruang-ruang virtual.
Diam dianggap pasif, tidak eksis, atau bahkan membosankan. Padahal dalam sejarah spiritualitas Islam, kesendirian justru sering kali menjadi ruang terbaik untuk menemukan kembali suara hati.
Para ulama salaf, termasuk para pendiri pesantren, sangat memahami nilai tersebut. Tidak sedikit dari mereka membiasakan diri untuk menyendiri, mengurangi bicara, bahkan membatasi interaksi duniawi bukan karena anti sosial, tapi karena tahu: dalam jiwa mereka perlu jeda, yang perlu digunakan untuk berdialog dengan sang Pencipta secara lebih dekat. Dalam keheningan itulah niat diperiksa, ketulusan diuji, dan amal dibersihkan dari kepentingan duniawi.
Kesendirian spiritual adalah latihan untuk meyakinkan diri bahwa Allah cukup sebagai saksi amal. Bahwa tidak apa-apa jika orang tidak tahu, tidak menyapa, atau tidak memuji. Karena amal yang tidak dilihat manusia—tapi dicatat Allah—adalah amal yang paling jujur.
Bagi santri Gen Z, kesendirian ini bisa hadir bukan hanya dalam bentuk uzlah fisik, tapi juga puasa digital: menjauh sejenak dari layar, dari notifikasi, dari komentar. Bukan karena lari dari dunia, tapi karena ingin kembali menemukan arah dalam dunia yang terlalu bising.
Karena bisa jadi, dalam sunyi itulah kita benar-benar bertemu dengan diri sendiri. Dan di situlah awal dari letak semua kebaikan yang sejati.
Kebaikan sebagai Jalan Pulang
Kebaikan dalam Islam bukan sekadar amal lahiriah. Ia adalah jalan pulang—sebuah perjalanan menuju kesadaran, bahwa kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Setiap amal baik adalah jejak langkah dalam perjalanan pulang itu.
QS. Al-Isra’ ayat 7 ini tidak menyuruh kita menjadi sempurna. Tapi ia memanggil kita untuk terus bergerak, sekecil apa pun. Karena setiap kebaikan yang kita lakukan hari ini—meski hanya menahan emosi, mengingatkan teman, atau menyimpan nasihat di hati—adalah tanda bahwa kita tidak menyerah untuk pulang kepada Tuhan dengan amal yang layak.
Di pesantren, para santri diajarkan bahwa ilmu bukan hanya untuk dihafal, tapi untuk diamalkan. Bahwa adab lebih utama dari sekadar kepandaian. Bahwa diam dengan niat yang baik, bisa lebih tinggi nilainya daripada bicara yang mengandung riya’. Semua itu adalah bentuk kebaikan kecil yang jika terus dijaga, akan menjadi bekal perjalanan kembali kepada-Nya.
Di luar dari pagar pesantren, dunia mungkin meminta kita menjadi siapa-siapa. Tapi ayat ini menyadarkan: kita cukup menjadi diri sendiri yang berusaha baik. Bukan untuk dinilai, bukan untuk disukai, akan tetapi karena kita ingin pulang dengan membawa cahaya amal.
Kebaikan bukan destinasi, tapi cara kita melangkah. Dan setiap langkah yang benar akan membawa kita lebih dekat kepada Yang Maha Benar.
Tetap Tenang, dan Tetap Baik
Menjadi baik hari ini mungkin berarti memilih diam saat bisa membalas, memilih jujur saat bisa memanipulasi, atau memilih tulus meski tak mendapat tepuk tangan. Kebaikan yang sejati tidak perlu validasi sosial—cukup diketahui oleh Allah, dan dirasakan oleh hati yang bersih.
Di tengah dunia yang terus berisik, menjadi baik adalah pilihan sunyi yang kuat. Sebab kebaikan, pada akhirnya, adalah bentuk tanggung jawab kita terhadap diri sendiri. Amal baik yang kita lakukan, sekecil apa pun, akan kembali kepada kita. Ia tidak akan hilang, tidak akan sia-sia, karena Allah tidak pernah lengah mencatat setiap niat yang tulus.
Maka, jika hari ini kita hanya mampu menjadi baik dalam diam, tetaplah melangkah. Jika belum bisa viral karena kebaikan, tetaplah jujur. Jika dunia tidak melihat, tidak mengapa—Allah selalu menyaksikan. Dan itu sudah cukup.
Wallahu A’lam
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.