Usulan Pilkada Lewat DPRD Mengemuka, Pakar UGM Angkat Bicara

Ma'rifah Nugraha
0
Ilustrasi. Foto Freepik.

EDUKASIA.ID - Usulan agar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kembali dilakukan lewat DPRD menuai sorotan tajam. Wacana yang sempat diberlakukan sebelum 2005 itu kini mencuat lagi dengan alasan efisiensi dan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemilu langsung.

Namun, sejumlah pihak mengingatkan agar usulan ini tak sampai menggerus prinsip-prinsip demokrasi partisipatif yang telah dibangun sejak era reformasi.

Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Bagus Panuntun, ikut angkat bicara. Menurutnya, Pilkada lewat DPRD memang sah secara konstitusional, namun secara politik bisa membawa konsekuensi besar.

“Sistem Pilkada melalui DPRD bukanlah hal baru. Sebelum tahun 2005, sistem tersebut diterapkan dan dinilai masih sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,” ujar Alfath, dikutip dari laman UGM.

Ia menambahkan, perubahan ke sistem pemilihan langsung yang terjadi pasca reformasi justru bertujuan memperluas partisipasi rakyat dalam proses demokrasi.

"Seiring perjalanan waktu, pasca reformasi dan amandemen UUD 1945, sistem tersebut diubah menjadi pemilihan langsung untuk memperluas partisipasi rakyat," imbuhnya.

Bagi Alfath, inti persoalan bukan sekadar soal sah tidaknya usulan tersebut secara hukum. Yang lebih krusial adalah dampaknya terhadap ruang partisipasi politik masyarakat.

“Ini soal pilihan politik, apakah kita mau demokrasi kita lebih partisipatif atau terbatas diserahkan pada elite,” tegasnya, Selasa, 12 Agustus 2025.

Dari sisi anggaran, memang ada argumen bahwa Pilkada lewat DPRD jauh lebih hemat. Tapi hemat bukan berarti lebih baik untuk demokrasi.

“Demokrasi memiliki pemaknaan yang dalam akan peran individu dalam suatu sistem kenegaraan,” lanjut Alfath.

Ia menekankan bahwa demokrasi memang “mahal”, tetapi itulah harga yang harus dibayar untuk memastikan keterlibatan rakyat dalam proses politik yang sehat.

“Namun perlu dicermati, semakin tinggi keterlibatan publik, maka demokrasi yang dibangun akan semakin kuat sehingga negara menjadi lebih inklusif dan mampu memenuhi hak-hak rakyatnya secara berkeadilan,” ujar Alfath.

“Harga ‘mahal’ tersebut sangat pantas untuk memastikan proses politik yang lebih partisipatif,” tambahnya.

Menanggapi sejumlah kekhawatiran terhadap praktik Pilkada langsung mulai dari politik uang, politik dinasti, hingga politisasi birokrasi Alfath menyebut ada tiga akar masalah utama yakni tingginya ongkos politik, korupsi, dan lemahnya pengawasan birokrasi.

Tapi, menurut dia, solusinya bukan dengan mencabut hak pilih rakyat.

“Solusinya bukanlah memotong hak masyarakat untuk memilih, melainkan membenahi desain dan pengawasan Pilkada,” katanya.

Alfath juga menyarankan agar pemerintah lebih fokus mengevaluasi aspek mana dari biaya Pilkada yang memang penting, dan mana yang sebenarnya bisa ditekan tanpa mengorbankan partisipasi rakyat.

"Harus ada evaluasi menyeluruh mengenai biaya mana yang perlu dan tidak perlu dikeluarkan demi pemilihan yang adil,” jelasnya.

Tak hanya itu, aspek pengawasan menurutnya harus diperkuat bahkan sejak awal pencalonan, bukan hanya saat pemungutan suara atau setelah Pilkada usai.

“Demokrasi akan bergeser ke arah lebih elitis. Publik makin jauh dari proses pengambilan keputusan,” kata Alfath mengingatkan.

Ia juga menekankan pentingnya reformasi menyeluruh pada institusi penyelenggara pemilu, pengawas, hingga partai politik dan para kandidat.

“Jika ingin memperkuat demokrasi, ruang partisipasi politik rakyat perlu diperluas dan ditingkatkan. Bukan justru dikurangi dan dibatasi,” pungkasnya.

Posting Komentar

0 Komentar

Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top