Ilustrasi. Foto ist.
Penulis: Salwa Hida’il Ula Umri, Mahasiswa Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Malang.
EDUKASIA.ID - Delapan puluh lima dari seratus persen orang Indonesia masih menganggap bahwa definisi pendidikan hanya berfokus pada angka yang tertera di rapor. Padahal, definisi pendidikan lebih dari itu. Pendidikan juga tentang pengalaman belajar dan pengembangan bakat yang dimiliki oleh setiap anak.
Di ruang kelas, sering kali fokus utama hanya pada pencapaian akademik. Apalagi, hanya berfokus pada satu bidang mata pelajaran saja. Sebut saja, matematika. Hanya siswa dengan nilai yang tinggi dan siswa yang memiliki kompeten di bidang matematika saja yang selalu dianggap berhasil. Sementara yang selain dari itu? Sering dianggap tidak pintar. Padahal, setiap anak punya keunikan dan potensi yang berbeda. Ada yang unggul di bidang seni, olahraga, bahasa, sains, kepemimpinan, atau bahkan keterampilan sosial. Semua itu adalah bentuk dari kecerdasan yang tidak selalu bisa ditunjukkan lewat hasil ujian tertulis saja. Gaya belajar dari tiap anak berbeda. Ada yang visual, ada yang auditorial, dan ada juga yang kinestetik. Sayangnya, sistem pendidikan kita masih sering menekankan pada capaian akademik semata, sehingga bakat dan potensi anak di luar itu belum sepenuhnya mendapat perhatian.
Padahal, pengalaman belajar juga merupakan aspek yang sangat penting dalam pendidikan. Siswa belajar bukan semata hanya lewat buku atau papan tulis. Tapi, siswa juga bisa belajar secara kontekstual atau pengalaman sehari-harinya. Seperti: berdiskusi dengan teman mengenai masalah yang ada di sekitarnya, mengikuti kegiatan ekstrakulikuler yang akan menambah pengalaman nyata pada dirinya, atau bahkan siswa bisa belajar dari kegagalan yang pernah dialaminya. Dari semua pengalaman itu, siswa bisa membentuk dan mengembangkan karakter dirinya. Siswa juga bisa belajar cara bertanggung jawab, bekerja sama, bahkan menumbuhkan rasa percaya diri. Padahal, inilah bekal penting yang justru diperlukan oleh mereka untuk menghadapi dunia nyata.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, tujuan pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Ini artinya, pendidikan tidak boleh hanya membentuk anak hanya pintar secara akademis saja, tetapi pendidikan juga harus bisa memberi kesempatan untuk membentuk dan mengembangkan karakter anak, kreativitas, kepedulian sosial, dan kemampuan dalam ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup.
Jika kita tetap terus menganggap bahwa pendidikan hanya berfokus pada nilai yang tertera di rapor, maka kita juga termasuk orang yang mengabaikan sisi manusiawi dari anak. Kita juga harus siap menanggung risikonya. Anak bisa saja merasa bahwa nilailah yang menentukan harga dirinya. Dari hal ini, anak bisa memiliki sifat curang, tidak percaya diri, stress atau cemas yang berlebihan, dan memiliki tujuan dalam belajar yang keliru.
Jika sudah seperti itu, anak akan terus menerus bahwa keberhasilan dirinya hanya berfokus pada nilai. Padahal keberhasilan hidup bisa ditentukan oleh banyak faktor, seperti kemampuan beradaptasi, kreativitas, kerja keras, dan ketekunan. Maka dari itu, kita harus mengubah cara pandang kita mengenai pendidikan. Yaitu, nilai adalah hal yang penting, karena ia akan memberikan gambaran tentang capaian akademik anak dalam kurun waktu tertentu. Tapi nilai bukanlah satu-satunya yang menjadi tolak ukur suatu keberhasilan.
Dalam hal ini, peran guru dan orang tua sangatlah penting. Mereka tidak hanya menjadi pendidik, tetapi juga orang yang menjadi pendamping anak dalam menemukan bakatnya. Guru bisa memberikan ruang bagi siswa untuk mengekspresikan diri sesuai dengan gaya belajar mereka. Misalnya, memberi ruang pada anak untuk mencoba proyek nyata yang berada di luar kelas, seperti membuat karya seni yang bisa dipamerkan, menulis cerita, melakukan eksperimen sederhana, atau bahkan terlibat dalam kegiatan sosial.
Sementara orang tua perlu mendukung anak agar berani mencoba hal-hal baru. Misalnya, mendukung dan mengapresiasi minat anak, menciptakan lingkungan yang aman seperti mengatakan “tidak apa-apa kalau gagal, yang penting sudah mau berusaha” pada anak, memberi kesempatan praktis seperti memberi izin anak untuk ikut lomba kecil di sekolah, membiarkan anak untuk memesan makanan sendiri di restoran.
Keduanya dapat berkolaborasi dalam memberikan motivasi yang kuat pada anak untuk berani belajar sesuai dengan minat dan bakat mereka untuk menciptakan pengalaman belajar yang bermakna.
Tidak kalah penting, peran sekolah juga besar dalam hal ini. Sekolah juga harus menanamkan sistem yang menghargai minat dan bakat dari semua siswanya. Tidak semua siswa harus unggul dalam satu bidang mata pelajaran yang sama. Sekolah harus mengetahui dan menghargai bahwa siswanya tidak hanya berpotensi dalam bidang matematika atau sains saja. Tapi, ada siswa yang berpotensi dalam berbicara di depan umum, ada siswa yang bisa memecahkan suatu masalah secara kreatif, ada siswa yang memiliki potensi interpersonal, dan lain sebagainya. Dengan menghargai keberagaman potensi ini, siswa akan merasa lebih dihargai dan merasa nyaman untuk belajar sesuai potensinya. Kolaborasi antara sekolah, guru dan keluarga seperti inilah yang akan menciptakan lingkungan belajar yang lebih sehat dan menyenangkan. Karena ketiganya sama-sama mendukung anak untuk menemukan jati dirinya, menggali bakat yang dimiliki, dan membangun pengalaman hidup yang bermakna.
Dengan demikian, pendidikan sejati bukan hanya sekadar nilai atau angka yang tertera, tapi juga proses dan potensi mereka masing-masing yang dapat memanusiakan mereka. Anak-anak bukan hanya butuh angka di rapor mereka, tapi juga butuh kesempatan untuk merasakan kebahagiaan dan kenyamanan dalam belajar, arti dari belajar, mengembangkan potensi, dan menumbuhkan rasa percaya diri dalam diri mereka. Dengan cara ini, pendidikan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tapi juga generasi yang tangguh, kreatif, dan berkarakter. Maka, ayo kita ubah cara pandang kita mengenai pendidikan secara lebih luas, agar pendidikan di Indonesia lebih memanusiakan anak.



.png)



Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.