Ayi Hidayat, saat ditemui NU Online di kediamannya, Kampung Pereng, Desa Pangauban, Pacet, Bandung. Foto NU Online.
Bandung. EDUKASIA.ID - Tak semua lulusan Pendidikan Guru Agama (PGA) tahun 1970-an memilih jalur aparatur negara. Salah satunya Ayi Hidayat. Saat banyak rekannya menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), pria kelahiran 1958 itu justru memilih jalan berbeda yakni menimba ilmu di pesantren.
Selepas lulus PGA Baitul Arqom pada 1975, Ayi memutuskan mondok di Pondok Pesantren Al-Falah Tasikmalaya.
“Masantren bari ngawulang di madrasah (menjadi santri sembari mengajar),” kenangnya.
Bekal keilmuannya membuat pihak pesantren memintanya membantu mengajar di madrasah diniyah sore hari.
Untuk menutupi kebutuhan hidup, ia menganyam tikar dari bahan mendong. Tiap pekan, Ayi juga rutin berjalan kaki sekitar lima kilometer mengikuti pengajian ilmu tauhid KH Khoir Affandi di Pesantren Manonjaya.
Dari Santri ke Guru Honorer
Tahun 1988, panggilan ibu membuatnya pulang ke kampung halaman di Kampung Pereng, Desa Pangauban, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung. Di sanalah ia mulai mengajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Fakhriyah almamaternya sendiri yang dulu bernama Madrasah Wajib Belajar (MWB).Karena kekurangan tenaga pengajar, Ayi juga merangkap mengajar di Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) Al-Fakhriyah di bawah yayasan yang sama.
Gajinya pada awal 1988 hanya Rp5.000 per bulan. Hingga tahun 2010, dari akumulasi mengajar di tiga jenjang, ia hanya menerima Rp300.000. Setelah lolos sertifikasi guru pada 2010, pendapatannya naik menjadi Rp1,2 juta per bulan. Namun, ketika memasuki masa pensiun pada 2018, statusnya kembali seperti semula: guru honorer dengan penghasilan Rp300.000.
“Pensiun dari guru, ia tetap menjadi guru,” tulis NU Online yang mewawancarainya.
Tapi tentu saja, pensiun itu tanpa uang pensiun sepeser pun.
“Mengajar ya mengajar,” begitu prinsipnya. Baginya, tugas guru adalah mengabdi, bukan sekadar mencari status.
Ia mengaku sangat terinspirasi oleh KH Ali Imron, gurunya di PGA Baitul Arqom.
Gagal Jadi ASN, Tak Surut Mengajar
Meski tiga kali ikut tes PNS tahun 1990, 1994, dan 1996 Ayi tak pernah lolos. Namun kegagalan itu tak membuatnya berhenti mengajar.“Mengajar ya mengajar,” begitu prinsipnya. Baginya, tugas guru adalah mengabdi, bukan sekadar mencari status.
Ia mengaku sangat terinspirasi oleh KH Ali Imron, gurunya di PGA Baitul Arqom.
“Yang lebih hak bagi seseorang ketika jadi guru, kalau diberi kehormatan 1000 dirham untuk mengajar satu huruf,” begitu pesan yang paling diingatnya.
Cita-cita Ayi menjadi guru bukan demi kedudukan, tapi agar bisa menebar ilmu yang bermanfaat. Ia berpegang pada hadits: idza mata ibnu adam inqatha’a amaluhu illa min tsalatsin, shadaqatin jariyatin, aw ilmin yuntafau bihi, aw waladin shalihin yad’u lahu. Baginya, poin aw ilmin yuntafau bihi adalah pedoman hidup.
Karena itulah, ia merasa sedih jika ilmu yang dipelajari tidak bisa diamalkan.
Setahun kemudian, pasangan muda itu pindah ke Lakbok dan mendirikan majelis taklim bernama Miftahul Karomah pada 1983. Setelah Ayi pindah ke Bandung, majelis tersebut diteruskan oleh keponakan istrinya hingga kini.
Sore hingga malam, waktunya diisi dengan mengajar di berbagai majelis taklim yang ia ampu sejak tahun 1990-an. Jadwalnya padat:
Jumat, mengisi pengajian Kitab Tauhid Tijanud Darory di Majelis Taklim Desa Cinanggela.
“Ingin ibadah haji,” ucapnya lirih dengan mata berkaca-kaca. Air matanya pun jatuh tanpa disadari.
Cita-cita Ayi menjadi guru bukan demi kedudukan, tapi agar bisa menebar ilmu yang bermanfaat. Ia berpegang pada hadits: idza mata ibnu adam inqatha’a amaluhu illa min tsalatsin, shadaqatin jariyatin, aw ilmin yuntafau bihi, aw waladin shalihin yad’u lahu. Baginya, poin aw ilmin yuntafau bihi adalah pedoman hidup.
Karena itulah, ia merasa sedih jika ilmu yang dipelajari tidak bisa diamalkan.
Dari Tasik ke Lakbok, Membangun Majelis Taklim
Saat masih menimba ilmu di Al-Falah, Ayi berkenalan dengan Solihat, santri asal Lakbok, Banjar (dulu masuk Kabupaten Ciamis). Mereka menikah saat abu letusan Gunung Galunggung masih beterbangan di langit Tasikmalaya.Setahun kemudian, pasangan muda itu pindah ke Lakbok dan mendirikan majelis taklim bernama Miftahul Karomah pada 1983. Setelah Ayi pindah ke Bandung, majelis tersebut diteruskan oleh keponakan istrinya hingga kini.
Aktivitas Padat Meski Pensiun
Kini, meski berstatus pensiunan honorer, aktivitas Ayi tetap padat. Setiap pagi ia menjadi imam di masjid, lalu mengajar anak-anak mengaji. Pukul 07.00 ia berangkat ke sekolah Al-Fakhriyah dengan berjalan kaki, pulang siang hari, kemudian mencari rumput untuk tiga kambing peliharaannya.Sore hingga malam, waktunya diisi dengan mengajar di berbagai majelis taklim yang ia ampu sejak tahun 1990-an. Jadwalnya padat:
Jumat, mengisi pengajian Kitab Tauhid Tijanud Darory di Majelis Taklim Desa Cinanggela.
- Sabtu pekan ke-3 dan ke-5, mengajar di As-Sa’adah Nenggre, Cinanggela.
- Ahad pekan ke-1, ke-3, dan ke-5, di Al-Itishom, Pangauban.
- Senin, di Nurul Hasan Pasir Batu, dan rutin khutbah di Cisaat Pasir Batu sejak 1988.
- Selasa pekan pertama, di Masjid Hidayatush Shidqi Pangauban.
- Rabu pekan ke-3, di Al-Ittihad Cikitu dengan kajian Fiqih Safinatun Najah.
- Kamis, di Madrasah Al-Hidayah Paku Haji membahas Tafsir Qur’an, Tauhid, dan Asmaul Husna.
Cita-Cita di Ujung Usia
Kini Ayi Hidayat sudah mendekati usia kepala tujuh. Ia masih mengajar dengan semangat yang sama seperti saat muda. Namun saat ditanya soal cita-cita di masa tua, suaranya bergetar.“Ingin ibadah haji,” ucapnya lirih dengan mata berkaca-kaca. Air matanya pun jatuh tanpa disadari.



.png)




Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.