
Penulis: Ahmad Baedowi, M.Si/ Dosen PAI UI, alumni Pesantren Buntet Cirebon
EDUKASIA.ID - Mungkin sudah jutaan tulisan atau informasi yang membahas tentang Pesantren sehingga banyak orang akhirnya mengetahui seluk beluk Pesantran.
Namun ternyata di luar sana pemahaman masyarkat secara umum tidak linier dengan kebesaran kiprah para alumni pesantren yang sudah mendharmabaktikan seluruh hidup dan kehidupannya disetiap lini dengan berbagai macam peran dan profesinya.
Oleh karena itu sebagai bagian dari pernah berguru dan mengenyam Pendidikan dari Pesantren, kami merasa ada tanggungjawab secara moral untuk memberikan sedikit warna di Tengah-tengah Masyarakat.
Mendengar nama Pesantren yang terbanyang di Masyarakat luas merupakan Lembaga Pendidikan Agama masih mempertahankan sisi tradisionalitasnya, meskipun dewasa ini banyak Pesantren yang sudah menjelma menjadi Lembaga Pendidikan modern bahkan tidak sedikit alumninya melanjutkan ke luar negeri bagian bumi timur maupun barat.
Pesantren sejak awal pendiriannya berfungsi sebagai benteng pertahanan Masyarakat pribumi Nusantara dalam segala bidang, bukan hanya sebagai Lembaga Pendidikan, tetapi juga tempat Dimana Masyarakat bisa menumpahkan keluh kesah serta problematika hidupnya dibimbing dan dibantu oleh Kiai sebagai leader Pesantren.
Bahkan sebelum bangsa ini berdiri Pesantren sudah menjadi menjadi lembaga yang mengayomi Masyarakat bukan hanya memberikan Pendidikan agama, tetapi juga menjadi tempat dimana masyarakat berteduh dari segala masalah kehidupan.
Sebagai Lembaga Pendidikan, Pesantren merupakan Lembaga yang kapabel dan professional. Karena di dalam pesantren santri atau murid dibimbing oleh Kiai hampir 24 Jam penuh.
Di dalam pesantren juga tidak usah ditanya keikhlasan dan visi Pendidikan yang humanistik serta pengembangan potensi santri atau peserta didik dalam hal ilmu, amal dan moral. Seperti penjelasan Imam Al Ghazali dalam hya’ Ulum al-Din dan Ayyuha al-Walad bahwa disebut sebagai lembaga pendidikan kapabel adalah yang mendidik hati dan akal secara seimbang.
Oleh karena itu Al Ghazali memberikan syarat bahwa lembaga Pendidikan harus memiliki paling tidak adanya Keikhlasan dan tujuan spiritual, Kiai/pendidik berakhlak dan berilmu luas, Lingkungan yang menumbuhkan adab dan ilmu. Serta kurikulum yang mengarah pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sejalan dengan Al Ghazali,.John Dewey Filosuf dan Pendidik Barat mensyaratkan Lembaga Pendidikan kapabel harus Mampu mengembangkan potensi peserta didik secara utuh (intellectual, emotional, social growth), Mempunyai lingkungan belajar yang demokratis dan reflektif, serta Menjadi tempat pengalaman belajar yang bermakna (learning by doing).
Pesantren sudah memenuhi bahkan melampaui persyaratan menjadi Lembaga pendidikan yang kapabel dan layak bahkan sebelum bangsa ini lahir. Sehingga dengan keberadaannya serta andil dan peran secara langsung maupun tidak langsung Pesantren merupakan pemilik sah mayoritas bangsa Indonesia.
Dalam perkembangannya sudah tidak bisa dihitung bahwa peran dan kontribus pesantren sebelum sampai bangsa Indonesia berdiri.
Sejarah mencatat, sejak belum ada nama Indonesia, surau dan rumah kiai merupakan pusat peradaban ilmu, berdenyut hingga awal 1900-an. Kaum Imperalis kemudian membawa Sekolah Rakyat yang berjenjang, namun hanya diperuntukkan bagi kaum elite. Bagi rakyat jelata mereka berbondong-bondong mengantar anak ke surau dan Pesantren.
Sistem pendidikan di Pesantren tidak pernah gentar oleh kaum penjajah. Pada saat Indonesia merdeka, kemudian berdiri Pemerintahan dari mulai Orde Lama berganti Orde Baru hingga Reformasi, hak belajar terjamin penuh.
Namun, secara realitas data dari BPS tahun 2023 mencatat bahwa hanya 52% siswa yang tertampung di sekolah negeri yang disediakan Pemerintah.
Lalu kemana perginya sisa 48% generasi penerus bangsa? Siapa pahlawan di balik layar yang menutup jurang kesenjangan ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah Pesantren. Institusi yang membuktikan, jauh sebelum negara menjamin pendidikan, mereka sudah lebih dulu berjuang, konsisten melayani masyarakat agar Cahaya Pendidikan dan belajar tidak pernah padam di bumi Nusantara ini.
Hari ini di Masyarakat luas tidak sedikit yang memandang sebelah mata bahkan dengan terbuka dan tanpa rasa malu dan bersalah mendeskriditkan dan menghina keberadaan Pesantren. Dan itu merupakan pengkhianatan besar kepada Pesantren sebagai Lembaga yang memilki peran besar bagi bangsa ini.
Maka dari itu siapapun yang tidak memahami sesuatu tidak bijak jika langsung berkomentar dan memberikan penilaian sepihak yang menurut prespektif psikologi Dunning-Kruger effect atau orang yang kurang paham justru merasa paling tahu dan berani menilai.
Agamapun melarang berkata tanpa ilmu (qawl bi ghair ‘ilm). Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim Nabi SAW pernah bersabda “Cukuplah seseorang dikatakan berdusta bila ia menceritakan segala sesuatu yang ia dengar”.
Fenomena sebagian masyarakat yang dengan mudah meremehkan dan mendiskreditkan Pesantren menunjukkan krisis etika berpikir dan hilangnya penghargaan terhadap lembaga keilmuan tradisional yang justru memiliki jasa besar bagi bangsa ini.
Sikap menilai tanpa memahami hakikat yang sesungguhnya mencerminkan rendahnya literasi sosial dalam Masyarakat kita. Oleh karena itu, setiap individu perlu menumbuhkan sikap tabayyun (klarifikasi), kerendahan hati intelektual, serta penghormatan terhadap sumber-sumber ilmu agar penilaian yang muncul selalu berpijak pada kebenaran dan keadilan.


.png)



Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.