
Ilustrasi. Foto Freepik.
Yogyakarta. EDUKASIA.ID - Menjelang akhir tahun, isu kelelahan mental, fisik, dan emosional atau burnout kerap mencuat di kalangan pekerja maupun mahasiswa.
Tekanan target kerja, penutupan buku, hingga evaluasi akademik sering disebut menjadi pemicu turunnya motivasi dan produktivitas.
Namun, pakar Psikologi Industri dan Organisasi Fakultas Psikologi UGM, Dr. Sumaryono, M.Si., mengingatkan bahwa tidak semua kelelahan psikologis bisa langsung disebut burnout. Ia menekankan pentingnya memahami perbedaan antara stres, burnout, dan depresi agar respons yang diberikan tidak berlebihan maupun keliru.
“Yang sering terjadi itu sebenarnya stres, bukan burnout. Karena Burnout itu cenderung lebih parah,” katanya, Rabu, 24 Desember 2025.
Ia menilai, menjelang akhir tahun pekerja memang dihadapkan pada banyak tuntutan seperti tenggat waktu dan target kinerja. Sementara mahasiswa, menurutnya, masih berada pada beban akademik yang relatif normal sehingga lebih tepat disebut mengalami stres.
Maryono juga menyoroti kecenderungan penggunaan istilah burnout yang kurang tepat, terutama di kalangan anak muda. Sedikit tekanan kerap langsung dianggap sebagai burnout, padahal secara psikologis kondisinya berbeda.
“Kalau sakit kepala atau pusing, itu tergolong stres. Burnout itu betul-betul merasa tidak mampu dan kelelahan berat untuk melakukan suatu aktivitas dan aktivitas-aktivitas lainnya,” ujarnya.
Menurutnya, perbedaan tersebut lebih terletak pada resiliensi dan pengalaman dalam menghadapi tekanan. Minimnya pengalaman membuat daya tahan terhadap tekanan besar masih memerlukan proses adaptasi.
“Perbedaan generasi itu soal pengalaman menghadapi tekanan dan bagaimana mereka belajar untuk coping (mengatasi stres),” jelasnya.
Ia menegaskan, generasi sebelumnya juga menghadapi tekanan, hanya bentuk dan konteksnya yang berbeda.
Ia menekankan pentingnya peran mentor, baik dosen pembimbing akademik maupun atasan di tempat kerja, melalui pendekatan coaching dan komunikasi terbuka.
Tekanan target kerja, penutupan buku, hingga evaluasi akademik sering disebut menjadi pemicu turunnya motivasi dan produktivitas.
Namun, pakar Psikologi Industri dan Organisasi Fakultas Psikologi UGM, Dr. Sumaryono, M.Si., mengingatkan bahwa tidak semua kelelahan psikologis bisa langsung disebut burnout. Ia menekankan pentingnya memahami perbedaan antara stres, burnout, dan depresi agar respons yang diberikan tidak berlebihan maupun keliru.
Burnout Lebih Berat dari Stres
Sumaryono, yang akrab disapa Maryono, menjelaskan bahwa stres, burnout, dan depresi merupakan kondisi yang berbeda. Burnout disebutnya sebagai kondisi yang lebih berat karena mencakup kelelahan fisik, emosional, dan mental secara bersamaan.“Yang sering terjadi itu sebenarnya stres, bukan burnout. Karena Burnout itu cenderung lebih parah,” katanya, Rabu, 24 Desember 2025.
Ia menilai, menjelang akhir tahun pekerja memang dihadapkan pada banyak tuntutan seperti tenggat waktu dan target kinerja. Sementara mahasiswa, menurutnya, masih berada pada beban akademik yang relatif normal sehingga lebih tepat disebut mengalami stres.
Maryono juga menyoroti kecenderungan penggunaan istilah burnout yang kurang tepat, terutama di kalangan anak muda. Sedikit tekanan kerap langsung dianggap sebagai burnout, padahal secara psikologis kondisinya berbeda.
“Kalau sakit kepala atau pusing, itu tergolong stres. Burnout itu betul-betul merasa tidak mampu dan kelelahan berat untuk melakukan suatu aktivitas dan aktivitas-aktivitas lainnya,” ujarnya.
Depresi Sudah Masuk Ranah Klinis
Terkait depresi, Sumaryono menegaskan bahwa kondisi tersebut sudah masuk ranah klinis dan membutuhkan penanganan profesional yang serius. Ia juga menanggapi anggapan bahwa generasi milenial dan generasi Z lebih rentan mengalami burnout dibanding generasi sebelumnya.Menurutnya, perbedaan tersebut lebih terletak pada resiliensi dan pengalaman dalam menghadapi tekanan. Minimnya pengalaman membuat daya tahan terhadap tekanan besar masih memerlukan proses adaptasi.
“Perbedaan generasi itu soal pengalaman menghadapi tekanan dan bagaimana mereka belajar untuk coping (mengatasi stres),” jelasnya.
Ia menegaskan, generasi sebelumnya juga menghadapi tekanan, hanya bentuk dan konteksnya yang berbeda.
Strategi Cegah Burnout di Akhir Tahun
Dalam dunia kerja dan akademik, ekspektasi terhadap karier dan produktivitas sangat dipengaruhi oleh persepsi individu. Sumaryono mencontohkan, stres dapat menjadi proses adaptif ketika seseorang mampu menemukan makna dari pekerjaannya.Ia menekankan pentingnya peran mentor, baik dosen pembimbing akademik maupun atasan di tempat kerja, melalui pendekatan coaching dan komunikasi terbuka.
Menurutnya, hal tersebut menjadi kunci agar tekanan tidak berkembang menjadi stres berkepanjangan hingga berujung burnout.
Sumaryono membagikan strategi pencegahan burnout melalui metode CHANGE. Metode ini meliputi Challenge dengan memandang hidup sebagai tantangan, Hope untuk menjaga harapan, Adaptation dalam mengelola stres dan prioritas, Network dengan membangun jejaring dan berdiskusi dengan mentor, hingga mencapai fase Growth dan Excellence.
Sumaryono membagikan strategi pencegahan burnout melalui metode CHANGE. Metode ini meliputi Challenge dengan memandang hidup sebagai tantangan, Hope untuk menjaga harapan, Adaptation dalam mengelola stres dan prioritas, Network dengan membangun jejaring dan berdiskusi dengan mentor, hingga mencapai fase Growth dan Excellence.


.png)



Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.