Balada Kodirun Beristri Guru Swasta


Ilustrasi seorang sedang frustasi. 

Jika Mbak Kalis Mardiasih mengatakan jangan terjebak pada diskusi feminisme yang begitu-begitu saja, maka saya juga akan mengatakan sebagai lelaki dan (calon) suami jangan sungkan untuk memahami wanita dan (calon) istri.

Sebab tak ada salahnya apabila suatu saat nanti setiap pasangan bekerjasama dan bertukar peran dalam berumah tangga.

Jadi begini, sebelum memutuskan dan memantapkan diri untuk membangun mahligai rumah tangga dengan jalur pernikahan yang sah di KUA, sempat terjadi gejolak di dalam angan-angan teman saya, sebut saja Kodirun.

Bukan karena tuntutan kebutuhan yang bakal menjerat hidupnya kelak, melainkan bagaimana nanti selepas resepsi dia mampu melampaui adegan-adegan layaknya kehidupan di televisi.

Semenjak adanya Pandemi, Kodirun terpaksa diliburkan dari pekerjaannya. Sementara istrinya masih tetap bekerja sebagai guru swasta yang letaknya tak jauh dari rumah mertuanya. 

Sebagai karyawan kontrak, adanya pagebluk atau Pandemi seperti ini membuat tatanan dalam rumah tangganya berubah secara dramatis.

Bagaimana tidak, sebagai seorang lelaki dan suami, pekerjaan adalah harga dirinya yang harus dipertahankan. 

Namun, apa daya ia tak bisa mengelak keputusan dari tempat kerjanya. 

Akan tetapi sekali lagi tulisan ini tidak akan mengulas keadaan ekonomi keluarganya.

Kodirun adalah salah satu di antara jejak nyata dari kaum suami yang terkena imbas perubahan tatanan akibat Pandemi yang terjadi di negeri ini. Mungkin tak hanya Kodirun, saya yakin masih ada beberapa Kodirun lain yang mengalaminya.

Kodirun masih patut bersyukur lantaran istrinya tidak mengalami apa yang ia alami sekarang. 

Paling tidak masih ada harapan untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Istri Kodirun bekerja dari pagi sampai siang.

Sedangkan ia sendiri masih belum mendapatkan pekerjaan.

Tergantikannya posisi Kodirun sebagai pencari nafkah utama ini kemudian tak membuatnya bangun siang dan ngopi-ngopi sembari memanjakan diri. Akan tetapi ia memiliki kesadaran bahwa di dalam rumah tangganya ada satu peran yang harus ia gantikan: ibu rumah tangga.

Meskipun ketika ia masih bekerja, anak-anaknya seringkali ia titipkan kepada mertuanya tak lantas ia bergantung kepada mereka. 

Karena ia sadar anak-anak juga membutuhkan kasih sayang dan perhatian langsung darinya.

Palkovitz mengkonsepkan model Generative Fathering yang menjelaskan bagaimana dampak keterlibatan sosok ayah dalam kehidupan anak-anaknya melalui lima belas cara, salah satunya adalah cara mengasuh seperti menggantikan peran ibu di dalam kehidupan mereka. 

Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Subiyanto bahwa anak-anak yang memiliki ayah yang mau terlibat secara emosional dalam kehidupan anak seperti menyiapkan makanan, pakaian, dan kebutuhan lainnya akan menunjukkan keterampilan bergaul dan nilai akademik anak menjadi lebih baik.

Sebaliknya, sosok ayah yang acuh dan memarahi anak cenderung akan menimbulkan perilaku agresif dan tidak kooperatif.

Sementara di Indonesia, budaya patriarki bukanlah hal baru.

Sebab secara sadar maupun tidak sadar kesetaraan gender belum sepenuhnya diterapkan pada seluruh aspek kehidupan, terutama dalam kehidupan berumah tangga.

Yang sering terjadi adalah praktek peran laki-lak (suami)i sebagai penguasa tunggal, sentral dan segala-galanya sehingga acap kali terjadi kesewenang-wenangan yang menempatkan wanita (istri) menjadi korban keegoisannya.

Selain itu, pendapat tentang istri yang harus tunduk kepada suami jika dipahami secara bulat-bulat justru malah menjadi pemahaman yang salah kaprah.

Kepatuhan istri yang dipolitisasi akan berdampak pada timpangnya tatanan dalam kehidupan berumah tangga ketika salah satu aspek tidak dapat terpenuhi; hilangnya peran ibu.

Sungguh sangat beruntung istri Kodirun, ia mendapatkan suami yang sedikit banyak paham tentang kesetaraan gender dan konsep bekerjasama dalam menjalani mahligai bersama. Maklum Kodirun saat kuliah selalu mengikuti perkembangan feminisme dan kajiannya.

Hilangnya pemahaman tentang konsep bekerjasama dalam menjalani kehidupan berumah tangga memang menempatkan suami (laki-laki) dalam posisi lebih rentan terjebak pada keegoisan dan gengsi.

Karena pengaruh kekuasaan tunggal membuat mereka seringkali lupa bahwa urusan merawat dan memberikan kasih sayang kepada anak tak cukup bergantung kepada istri. Tetapi meninggalkan sedikit ego dan gengsi akan lebih mengharmoniskan hubungan berumah tangga secara utuh.

Saya kemudian teringat karakter Abah dalam film keluarga Cemara besutan Arswendo Atmowiloto pada tahun 1996-2002 silam.

Dalam menjalani kehidupan barunya dan sulitnya mendapatkan pekerjaan lain, Kodirun tetap menularkan kebahagiaan serta keceriaan kepada kedua anaknya.

Momentum seperti ini seorang ayah dan suami seharusnya senantiasa menghadapi permasalahan dengan berkepala dingin di depan anak-anak maupun istrinya.

Sudah sepantasnya suami harus tahu posisi diri dalam menyelesaikan kekurangan di dalam rumah tangganya dan memahami bagaimana di dalam keluarga harus mampu bekerjasama berbagi peran dengan memberi kesempatan dan pengertian satu sama lain, meskipun tak dapat dipungkiri lepas kontrol terkadang hadir di tengah-tengahnya.

Kodirun adalah salah satu problem kemiskinan terhadap pengakuan relasi gender dan dogma kemaskulinitasan.

Posisi Kodirun tidak bisa menjadi objek dalam perdebatan” kekuasaan” dan berbagi kedudukan dengan istri (perempuan).

Peran Kodirun dalam menjalani kehidupan rumah tangganya tidak cocok dengan indikator kekuasaan berdasarkan konsep kemaskulinitasan yang telah dipolitisasikan.

Karena Kodirun adalah sedikit kenyataan yang dapat mewakili bahwa berumah tangga adalah implementasi konsep kerjasama, bukan siapa yang akan mendominasi.

Toh, jika dihadapkan pada situasi seperti ini seorang suami harus bisa memahami posisi dan kondisi bukan justru menghindari dengan menyibukkan diri.

Belajar menghargai serta memahami wanita (istri) memang butuh waktu untuk kontemplasi dan tidak semua dapat dijalani, paling tidak, kedudukan dan fungsi utamamu jangan membuat buta hati serta akal sehatmu.

Penulis: 
Ahmad Dzikron Haikal 
Pendidik swasta di Semarang, pegiat sastra malam Jumat dan memiliki hobi menulis cerpen serta puisi.

buttons=(Accept !) days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top