Aan Lulusan Madrasah Desa Jadi Notaris, Tiru Keikhlasan Guru

Redaksi
0
Aan Yulianto saat bersama kedua orangtuanya di desa Pejambon Sumberrejo Bojonegoro. Foto ist.

EDUKASIA.ID – Siapa sangka, anak petani di desa dan lulusan madrasah aliyah ini kini berhasil meniti karir menjadi notaris dan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) di kota besar. Tapi, yang membuat kisahnya istimewa bukan hanya kesuksesannya, melainkan kisah kemanusiaannya pada sesama.

Dialah Aan Yulianto, S.H., M.Kn, pria asal Desa Pejambon, Sumberrejo Bojonegoro. Lahir dan tumbuh di tengah kesederhanaan, Aan kecil tumbuh dan berinteraksi seperti anak desa pada umumnya.

Aan bersekolah di MI Pejambon Sumberrejo, lalu melanjutkan ke MTs Attanwir Talun Sumberrejo, dan menyelesaikan studi di MAN 1 Bojonegoro.

Tak ada yang menyangka, pemuda lugu dari keluarga petani tersebut kelak menjadi Ahli bidang hukum perdata pertanahan dan kenotariatan.

“Waktu kecil saya tidak pernah bermimpi jadi notaris,” kenangnya.

Dia juga mengaku tak ada trah atau keturunan dari pegawai ataupun profesi khusus seperti notaris. “Tapi entah bagaimana, perjalanan hidup membimbing saya ke sini,” tukasnya.

Setelah lulus aliyah, Aan hijrah ke Malang dan menempuh pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang.

Selama di kampus tersebut, semangatnya mengakar kuat. Ia tak hanya belajar, tetapi aktif di organisasi pencak silat PSHT, bahkan menjadi salah satu pendiri UKM pencak silat PSHT di kampusnya.

Selepas lulus, berbekal jaringan dan semangat itu tersebut membawanya magang dan bekerja di kantor notaris/PPAT sejak 2003.

Ia sempat membantu temannya menyelesaikan urusan legalitas klien, hingga pada 2008 mendapat kepercayaan bekerja langsung bersama dosennya di bidang hukum perdata.

Setelah ada dana cukup dari sambilannya, Aan lantas melanjutkan studi S2 Kenotariatan di Universitas Brawijaya (UB), memperkuat jalannya sebagai seorang notaris sejati.


Aan Yulianto mengunjungi dosen yang memberinya pekerjaan semasa awal lulus S1. Foto ist.

Kini, kantor notaris dan PPAT atas nama Aan Yulianto, S.H., M.Kn. berdiri tegak. Namun di balik jas formal dan meja kayu besar, ia tetap santri dan lelaki desa yang sederhana.

Banyak yayasan masjid, lembaga TPQ, atau warga kecil yang terbantu legalitasnya dengan konsultasi cuma-cuma, bahkan tak sedikit yang dipungut biaya meski akta notarisnya keluar, padahal biaya notaris sesungguhnya tidak semuanya masuk kantong notaris, tapi juga ada yang menjadi pemasukan resmi negara.

“Bagi saya, membantu lembaga ibadah dan pendidikan itu bukan pekerjaan, tapi ibadah,” ujarnya pelan.

Dia menyebut, salah satu pemantiknya adalah keikhlasan guru-gurunya, khususnya semasa di MI dan Mts di dekat rumahnya.

“Saya melihat sendiri, kesederhanaan ustadz-ustad saya, meski berbayaran rendah, tetap mendidik muridnya dengan semangat,” ujarnya.

Meski penuh kesederhanaan dan keterbatasan, anehnya kebutuhan keluarga guru-guru itu mereka tetap tercukupi.

Aan mengaku ingin meniru meski tidak bisa sama persis, yakni dengan memberikan bantuan pada sesamanya, yakni pada klien.

“Saya bisanya membantu lewat jalur saya, meskipun sangat jauh dari keikhlasan guru-guru saya,” imbuhnya.

Aan Yulianto adalah bukti bahwa gelar tinggi tak harus menjauhkan seseorang dari akar rumputnya. Dari seorang anak petani, kini ia jadi pelayan masyarakat melalui akta dan tinta, dengan hati yang tetap bersahaja.

Posting Komentar

0 Komentar

Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top