Kasus Ledakan SMAN 72, Pakar Ingatkan Jangan Cepat Salahkan PUBG

Ma'rifah Nugraha
0
Pakar Psikologi Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Suciati. Foto UMY.

Yogyakarta. EDUKASIA.ID - Rencana pemerintah untuk membatasi akses game PUBG kembali ramai dibahas menyusul kasus percobaan peledakan rakitan oleh seorang siswa SMAN 72 Jakarta.

Langkah ini disebut-sebut sebagai upaya meredam potensi agresivitas remaja yang diduga terkait pengaruh game daring. Namun, Pakar Psikologi Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Suciati, S.Sos., M.Si., menekankan pemerintah tidak boleh tergesa-gesa mengaitkan insiden tersebut dengan PUBG tanpa kajian komprehensif.

“Menurut saya, itu memang bagian dari upaya meredam bentuk agresivitas. Tetapi yang perlu ditanyakan adalah, apakah benar tindakan itu terjadi akibat PUBG? Apa hubungannya bom dengan PUBG? Apakah pengakuan anak itu cukup untuk dijadikan dasar? Kalau pun benar ia kecanduan, tetap saja muncul pertanyaan lain: apakah penyebabnya sesederhana itu?” tegas Prof. Suci saat ditemui di Ruang Dosen Ilmu Komunikasi UMY, Senin , 17 November 2025.

Prof. Suci menilai tindakan merakit bom tidak bisa langsung disamakan dengan agresivitas yang mungkin dipicu permainan video. Menurutnya, kasus tersebut membutuhkan penyelidikan lebih mendalam, termasuk kemungkinan faktor sosial, psikologis, atau lingkungan yang memengaruhi perilaku anak.

Di sisi lain, Prof. Suci menekankan game seperti PUBG tidak selalu berdampak negatif. Banyak aspek positif yang sering terabaikan ketika masyarakat terlalu fokus pada sisi buruk. Berbagai penelitian menunjukkan permainan digital bisa meningkatkan konsentrasi, kemampuan visual-spasial, koordinasi mata tangan, serta membantu meredakan stres.

“Game itu plus minus. Kalau tidak kecanduan, justru banyak manfaatnya. Ada kompetisi internasional, ada pengembangan fokus dan keterampilan motorik, bahkan bisa membantu menghilangkan kejenuhan. Sisi negatif muncul ketika seseorang kecanduan: prestasi turun, tidak fokus di kelas, demotivasi, agresif, dan bisa berdampak ke fisik maupun mental,” jelasnya.

Karena itu, kemampuan mengendalikan penggunaan game menjadi kunci utama, bukan langsung melarang atau membatasi tanpa dasar kuat. Literasi digital dan pendampingan keluarga memegang peran penting.

“Orang tua adalah aktor paling penting dalam mencegah kecanduan, karena waktu interaksi terbesar anak ada di lingkungan rumah. Yang penting itu bagaimana mengendalikan agar tidak kecanduan,” tambah Prof. Suci.

Meski begitu, Prof. Suci tidak menutup kemungkinan pemerintah bisa mengambil langkah pembatasan jika game terbukti berbahaya atau menjadi pemicu masalah sosial yang signifikan. Regulasi, sanksi, hingga pemblokiran bisa diterapkan, tetapi semua harus berbasis bukti dan kajian matang.

“Jangan sampai ada kebijakan yang terburu-buru dan justru mengabaikan akar masalah sebenarnya,” pungkasnya.

Posting Komentar

0 Komentar

Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top