Ilustrasi pengumuman. Foto ist.
Oleh HM. Miftahul Arief, Pemred EDUKASIA.
EDUKASIA.ID - Fenomena di dunia pendidikan kadang unik, ya. Saat tahun ajaran baru sudah berjalan, siswa sudah masuk, masih ada pengumuman beberapa sekolah atau madrasah masih tertulis, “Pendaftaran Gelombang Terakhir!”
Ya, kata sakti 'gelombang' yang seringkali nongol di flyer pendaftaran siswa baru (dulu PPDB, sekarang istilahnya SMPB: Sistem Penerimaan Murid Baru) seringkali cuma kamuflase dari kalimat 'kuota belum terpenuhi'.
Ini kontras sekali dengan kondisi ideal. Mencari murid saat proses belajar sdah running itu bukan lagi strategi, tapi upaya penyelamatan kuota yang melelahkan. Benar, kan?
Lalu, bagaimana dengan yang sebaliknya? Sekolah atau madrasah yang 'tutup buku' jauh sebelum kalender akademik dimulai (biasanya sebelum Desember), ini yang menarik.
Saya melihat ini lebih dri sekadar keberuntungan. Ini soal strategi.
Di masa krisis seperti pandemi COVID-19 lalu, kontras itu terlihat paling jelas. Siapa adaptif, dia aman. Siapa yang statis, dia ngos-ngosan.
Sang maestro pemasaran, Kotler, menekankan: adaptasi, value proposition yang kuat, dan memahami kebutuhan pelanggan. Di pandemi, wali murid butuh kepastian, keamanan, dan jaminan anak mereka tetap belajar.
Banyak lembaga fokus pada 'promo diskon' atau 'gelombang' yang diperpanjang. Itu wajar, tapi bukan value yang relevan di tengah krisis. Mereka masih pakai jurus lama di 'medan perang' yang baru.
Di sinilah kunci edukasi manajerial bagi pengelola sekolah atau madrasah.
Kita harus jeli melihat momentum. Pandemi itu adalah momentum totalitas dan kesiapan digital yang harus ditunjukkan.
Maaf, Tak bermaksud sombong, hanya memberi contoh. Berdasarkan pengalaman langsung saya sebagai Kepala Madrasah (saya jadi Kamad 12 tahun, sebelum pasif karena kuliah doktoral) termasuk melewati masa pandemi di MI tempat saya mengabdi, kejadiannya agak beda.
Di saat yang lain pusing tujuh keliling, PPDB online kami cuma buka tiga hari, langsung kami tutup karena kuota sudah full. Ini bukan kebetulan. Ini soal kesiapan.
Kami tidak menjual janji, tapi menjual kesiapan solusi. Jauh sebelum pandemi, saya dan teman-teman sudah mengajukan dan mendapatkan fasilitas Google Workspace for Education (maaf sebut merek), gratis.
Artinya, saat krisis datang, semua siswa sudah punya akun workspace siap pakai. Tanpa repot setting, cukup generate dari dashboard admin.
Ini memberikan rasa aman dan kemudahan luar biasa. Wali murid tahu, sekolah ini siap.
Selain itu, kami pun memaksimalkan alat seadanya. Perpustakaan disulap jadi studio podcast. Calon customer yang saatbitu fokus YouTube pun banyak menonton.
Video pengenalan Madrasah (Matsama) dikemas sinematik. Bukan guru memperkenalkan diri, tapi kampanye Covid-19 informatif, dengan identitas guru muncul secara elegan (video ini belakangan menang, saat Kemdikbud bekerjasama dengan Kemenag adakan lomba video).
Ini upaya diferensiasi dan nilai lebih yang tak bisa ditawarkan banyak lembaga. Ini persis seperti Kotler katakan: "Ciptakan value yang superior bagi pelanggan."
Lantas bagaimana promosinya? Spanduk cetak atau MMT tak ada. Iklan di cetak maupun elektronik pun tak ada bajet.
Kami mengandalkan bisnis iklan paling ampuh: media sosial dan website sendiri, serta yang paling utama mouth to mouth atau customer loyalties.
Setelah mendalami disertasi tentang urban marketing, saya tahu ternyata disinilah teori Kepuasan Pelanggan Kotler bermain peran.
Ketika value yang diberikan melebihi ekspektasi, pelanggan (wali murid) tidak hanya puas, mereka menjadi advokat (promotor) terbaik kita.
Mereka melihat MI kami memberikan solusi nyata di saat krusial. Rasa aman, kemudahan, dan kualitas pembelajaran daring teruji, itulah yang menciptakan loyalitas sejati.
Pandemi itu pahit, tapi ia jadi stress test bagi strategi pemasaran sekolah. Siapa paling jujur dan adaptif, dia yang bertahan.
Edukasi pentingnya adalah: Kepala sekolah atau madrasah harus meninggalkan pola pikir pemasaran lama. Jangan cuma 'jualan kursi' dengan janji manis di gelombang pendaftaran yang tak berujung.
Seyogianya jual solusi, jual kesiapan, dan jual value yang superior.
Jika ini diterapkam, insya Allah pada Juli sekolah atau madrasah kita gak akan bikin flyer lagi "gelombang terakhir masih dibuka!"



.png)



Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.