Ilustrasi pendidikan. Foto ist
Oleh: Agus Khunaifi/ Dosen FITK UIN Walisongo Semarang
EDUKASIA.ID - Pendidikan di Indonesia hingga hari ini masih bergulat dengan persoalan yang kompleks dan berlapis. Persoalan tersebut tidak semata bersifat teknis-administratif, melainkan menyentuh dimensi filosofis dan moral yang paling dasar.
Salah satu problem yang kerap menjadi sorotan publik adalah kebijakan kurikulum yang mudah berubah seiring pergantian kepemimpinan di tingkat kementerian.
Alih-alih menghadirkan stabilitas dan kesinambungan, perubahan yang terlalu cepat justru menimbulkan kebingungan di tingkat praksis, terutama bagi guru dan satuan pendidikan sebagai garda terdepan implementasi kebijakan.
Di luar persoalan kurikulum, dunia pendidikan Indonesia juga menghadapi krisis etika yang kian mengkhawatirkan. Berbagai kasus kekerasan di sekolah, perundungan, hingga penyimpangan perilaku seksual menunjukkan bahwa sekolah belum sepenuhnya menjadi ruang aman dan bermartabat bagi peserta didik.
Pendidikan yang seharusnya menjadi wahana pembentukan karakter dan nilai kemanusiaan justru, dalam banyak kasus, gagal menjalankan fungsi etiknya secara optimal.
Situasi ini menandakan adanya jurang antara tujuan ideal pendidikan dan realitas praktik pendidikan sehari-hari.
Masalah lain yang tak kalah serius adalah tata kelola dan pembiayaan pendidikan. Maraknya pungutan ilegal, praktik jual beli kursi siswa, hingga komodifikasi pendidikan mencerminkan kecenderungan pendidikan diperlakukan sebagai komoditas ekonomi, bukan sebagai hak dasar warga negara.
Kondisi ini diperparah oleh persoalan kesejahteraan dan profesionalitas guru yang belum sepenuhnya terpenuhi. Guru, yang seharusnya menjadi aktor kunci transformasi pendidikan, kerap terjebak dalam sistem yang tidak adil dan kurang berpihak.
Singkatnya, pendidikan Indonesia belum sepenuhnya selaras dengan prinsip dasarnya: memperjuangkan kesetaraan, keadilan, dan kebebasan. Pertanyaan mendasarnya kemudian adalah: dari mana perbaikan pendidikan harus dimulai?
Salah satu persoalan mendasar yang kerap luput dari perhatian adalah tercerabutnya substansi pendidikan dari akar konseptualnya. Pendidikan sering dipahami sebagai entitas yang berdiri sendiri, terpisah dari kehidupan nyata.
Akibatnya, pengetahuan yang dipelajari di ruang kelas kerap kehilangan relevansi dan daya aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan pun mengalami alienasi dari realitas sosial.
Fenomena ini semakin menguat di era digital, ketika generasi Z dan generasi alfa lebih larut dalam dunia virtual dibandingkan berinteraksi secara langsung dengan lingkungan sosialnya.
Padahal, para pemikir pendidikan sejak lama menegaskan bahwa pendidikan tidak pernah berdiri sendiri. Salah satu konsep fundamental adalah trilogi pendidikan: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya memiliki peran yang sama penting dalam membentuk kepribadian seseorang.
Trilogi ini bekerja secara simultan dan saling memengaruhi. Kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh sekolah, tetapi juga oleh lingkungan keluarga dan ekosistem sosial yang melingkupinya.
Secara filosofis, pendidikan merupakan fondasi utama bagi pengembangan individu sekaligus kehidupan sosial. John Dewey menegaskan bahwa education is not preparation for life; education is life itself. Pendidikan bukan sekadar persiapan menuju masa depan, melainkan bagian integral dari kehidupan itu sendiri. Karena itu, pendidikan tidak boleh berhenti pada pengembangan kapasitas individual semata.
Paulo Freire mengingatkan bahwa pendidikan yang hanya berorientasi pada kompetisi dan pencapaian individual berisiko melahirkan manusia yang terasing dari realitas sosialnya. Pendidikan, menurut Freire, harus bersifat emansipatoris membangkitkan kesadaran kritis agar manusia mampu memahami ketidakadilan dan terlibat aktif dalam transformasi sosial.
Dalam konteks Indonesia, sistem pendidikan nasional sejatinya merupakan hasil dialog panjang antara tradisi pendidikan modern Barat dan nilai-nilai pendidikan Islam. Pendidikan modern menempatkan tujuan yang relatif komprehensif, mulai dari how to make a living hingga how to make a meaningful and noble life.
Namun, orientasi tersebut akan kehilangan daya transformatifnya apabila tidak ditopang oleh landasan etis dan spiritual yang kokoh. Tanpa fondasi tersebut, pendidikan berisiko terjebak dalam pragmatisme sempit yang hanya mengukur keberhasilan melalui capaian material dan statistik semata.
Di sinilah konsep pendidikan integratif menemukan relevansinya. Pendidikan integratif berpijak pada paradigma kesatuan ilmu yang memandang seluruh pengetahuan, pada hakikatnya, bersumber dari satu realitas transenden.
Perspektif ini mendorong pendidikan untuk mengintegrasikan rasionalitas dan spiritualitas, sains dan nilai moral, dimensi duniawi dan ukhrawi. Pendekatan semacam ini penting untuk mengakhiri dikotomi ilmu pengetahuan dan agama yang telah lama mewarnai sejarah peradaban manusia, dan yang dampaknya masih terasa hingga kini dalam praktik pendidikan di Indonesia.
Dalam tradisi Islam, pendidikan dipahami sebagai proses pembentukan manusia seutuhnya. Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan utama pendidikan adalah pembentukan akhlak dan penyucian jiwa, bukan sekadar pencapaian status sosial atau keuntungan material. Ia bahkan mengingatkan bahwa bertambahnya ilmu pengetahuan tanpa diiringi peningkatan ketaatan justru dapat menjauhkan manusia dari Tuhan.
Dengan demikian, pendidikan menjadi sarana pewarisan nilai agar manusia mampu menjalankan perannya sebagai khalifah di muka bumi dengan tanggung jawab moral dan kepedulian sosial.
Pendekatan integratif memungkinkan pendidikan dipahami secara lebih utuh dan substantif. Ketika pendidikan direduksi menjadi sekadar alat produksi tenaga kerja, banyak dimensi kemanusiaan terpinggirkan.
Sebaliknya, pendidikan yang mengintegrasikan dimensi intelektual, sosial, moral, dan spiritual akan melahirkan manusia yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga matang secara etis dan berempati.
Pada akhirnya, krisis pendidikan yang kita hadapi hari ini bukan semata soal kurikulum, anggaran, atau regulasi yang silih berganti. Ia adalah cermin dari cara kita memaknai pendidikan dalam konteks masyarakat modern yang dikotomik.
Pendidikan integratif mengingatkan bahwa tujuan pendidikan jauh melampaui capaian pargmatis dan materialis. Pendidikan adalah ikhtiar panjang untuk memanusiakan manusia membentuk generasi yang berpikir jernih, berhati nurani, dan berani bertindak benar. Tanpa kesadaran ini, pendidikan Indonesia akan terus berputar dalam krisis yang melelahkan dan kehilangan arah.
Wallāhu a‘lam bi al-ṣawāb.
EDUKASIA mengundang Anda untuk terlibat dalam jurnalisme warga dengan mengirimkan berita, artikel, atau video terkait pendidikan, isu sosial, dan perkembangan terbaru. Berikan perspektif dan suara Anda untuk membangun wawasan publik.
Kirim karya Anda melalui WhatsApp: 085640418181
EDUKASIA.ID - Pendidikan di Indonesia hingga hari ini masih bergulat dengan persoalan yang kompleks dan berlapis. Persoalan tersebut tidak semata bersifat teknis-administratif, melainkan menyentuh dimensi filosofis dan moral yang paling dasar.
Salah satu problem yang kerap menjadi sorotan publik adalah kebijakan kurikulum yang mudah berubah seiring pergantian kepemimpinan di tingkat kementerian.
Alih-alih menghadirkan stabilitas dan kesinambungan, perubahan yang terlalu cepat justru menimbulkan kebingungan di tingkat praksis, terutama bagi guru dan satuan pendidikan sebagai garda terdepan implementasi kebijakan.
Di luar persoalan kurikulum, dunia pendidikan Indonesia juga menghadapi krisis etika yang kian mengkhawatirkan. Berbagai kasus kekerasan di sekolah, perundungan, hingga penyimpangan perilaku seksual menunjukkan bahwa sekolah belum sepenuhnya menjadi ruang aman dan bermartabat bagi peserta didik.
Pendidikan yang seharusnya menjadi wahana pembentukan karakter dan nilai kemanusiaan justru, dalam banyak kasus, gagal menjalankan fungsi etiknya secara optimal.
Situasi ini menandakan adanya jurang antara tujuan ideal pendidikan dan realitas praktik pendidikan sehari-hari.
Masalah lain yang tak kalah serius adalah tata kelola dan pembiayaan pendidikan. Maraknya pungutan ilegal, praktik jual beli kursi siswa, hingga komodifikasi pendidikan mencerminkan kecenderungan pendidikan diperlakukan sebagai komoditas ekonomi, bukan sebagai hak dasar warga negara.
Kondisi ini diperparah oleh persoalan kesejahteraan dan profesionalitas guru yang belum sepenuhnya terpenuhi. Guru, yang seharusnya menjadi aktor kunci transformasi pendidikan, kerap terjebak dalam sistem yang tidak adil dan kurang berpihak.
Singkatnya, pendidikan Indonesia belum sepenuhnya selaras dengan prinsip dasarnya: memperjuangkan kesetaraan, keadilan, dan kebebasan. Pertanyaan mendasarnya kemudian adalah: dari mana perbaikan pendidikan harus dimulai?
Integrasi Trilogi Pendidikan
Salah satu persoalan mendasar yang kerap luput dari perhatian adalah tercerabutnya substansi pendidikan dari akar konseptualnya. Pendidikan sering dipahami sebagai entitas yang berdiri sendiri, terpisah dari kehidupan nyata.
Akibatnya, pengetahuan yang dipelajari di ruang kelas kerap kehilangan relevansi dan daya aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan pun mengalami alienasi dari realitas sosial.
Fenomena ini semakin menguat di era digital, ketika generasi Z dan generasi alfa lebih larut dalam dunia virtual dibandingkan berinteraksi secara langsung dengan lingkungan sosialnya.
Padahal, para pemikir pendidikan sejak lama menegaskan bahwa pendidikan tidak pernah berdiri sendiri. Salah satu konsep fundamental adalah trilogi pendidikan: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya memiliki peran yang sama penting dalam membentuk kepribadian seseorang.
Trilogi ini bekerja secara simultan dan saling memengaruhi. Kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh sekolah, tetapi juga oleh lingkungan keluarga dan ekosistem sosial yang melingkupinya.
Secara filosofis, pendidikan merupakan fondasi utama bagi pengembangan individu sekaligus kehidupan sosial. John Dewey menegaskan bahwa education is not preparation for life; education is life itself. Pendidikan bukan sekadar persiapan menuju masa depan, melainkan bagian integral dari kehidupan itu sendiri. Karena itu, pendidikan tidak boleh berhenti pada pengembangan kapasitas individual semata.
Paulo Freire mengingatkan bahwa pendidikan yang hanya berorientasi pada kompetisi dan pencapaian individual berisiko melahirkan manusia yang terasing dari realitas sosialnya. Pendidikan, menurut Freire, harus bersifat emansipatoris membangkitkan kesadaran kritis agar manusia mampu memahami ketidakadilan dan terlibat aktif dalam transformasi sosial.
Integrasi Sains, Agama dan Spiritual
Dalam konteks Indonesia, sistem pendidikan nasional sejatinya merupakan hasil dialog panjang antara tradisi pendidikan modern Barat dan nilai-nilai pendidikan Islam. Pendidikan modern menempatkan tujuan yang relatif komprehensif, mulai dari how to make a living hingga how to make a meaningful and noble life.
Namun, orientasi tersebut akan kehilangan daya transformatifnya apabila tidak ditopang oleh landasan etis dan spiritual yang kokoh. Tanpa fondasi tersebut, pendidikan berisiko terjebak dalam pragmatisme sempit yang hanya mengukur keberhasilan melalui capaian material dan statistik semata.
Di sinilah konsep pendidikan integratif menemukan relevansinya. Pendidikan integratif berpijak pada paradigma kesatuan ilmu yang memandang seluruh pengetahuan, pada hakikatnya, bersumber dari satu realitas transenden.
Perspektif ini mendorong pendidikan untuk mengintegrasikan rasionalitas dan spiritualitas, sains dan nilai moral, dimensi duniawi dan ukhrawi. Pendekatan semacam ini penting untuk mengakhiri dikotomi ilmu pengetahuan dan agama yang telah lama mewarnai sejarah peradaban manusia, dan yang dampaknya masih terasa hingga kini dalam praktik pendidikan di Indonesia.
Dalam tradisi Islam, pendidikan dipahami sebagai proses pembentukan manusia seutuhnya. Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan utama pendidikan adalah pembentukan akhlak dan penyucian jiwa, bukan sekadar pencapaian status sosial atau keuntungan material. Ia bahkan mengingatkan bahwa bertambahnya ilmu pengetahuan tanpa diiringi peningkatan ketaatan justru dapat menjauhkan manusia dari Tuhan.
Dengan demikian, pendidikan menjadi sarana pewarisan nilai agar manusia mampu menjalankan perannya sebagai khalifah di muka bumi dengan tanggung jawab moral dan kepedulian sosial.
Pendekatan integratif memungkinkan pendidikan dipahami secara lebih utuh dan substantif. Ketika pendidikan direduksi menjadi sekadar alat produksi tenaga kerja, banyak dimensi kemanusiaan terpinggirkan.
Sebaliknya, pendidikan yang mengintegrasikan dimensi intelektual, sosial, moral, dan spiritual akan melahirkan manusia yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga matang secara etis dan berempati.
Pada akhirnya, krisis pendidikan yang kita hadapi hari ini bukan semata soal kurikulum, anggaran, atau regulasi yang silih berganti. Ia adalah cermin dari cara kita memaknai pendidikan dalam konteks masyarakat modern yang dikotomik.
Pendidikan integratif mengingatkan bahwa tujuan pendidikan jauh melampaui capaian pargmatis dan materialis. Pendidikan adalah ikhtiar panjang untuk memanusiakan manusia membentuk generasi yang berpikir jernih, berhati nurani, dan berani bertindak benar. Tanpa kesadaran ini, pendidikan Indonesia akan terus berputar dalam krisis yang melelahkan dan kehilangan arah.
Wallāhu a‘lam bi al-ṣawāb.
Berkontribusi di EDUKASIA.ID?
EDUKASIA mengundang Anda untuk terlibat dalam jurnalisme warga dengan mengirimkan berita, artikel, atau video terkait pendidikan, isu sosial, dan perkembangan terbaru. Berikan perspektif dan suara Anda untuk membangun wawasan publik.
Kirim karya Anda melalui WhatsApp: 085640418181



.png)


Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.