Cerita Sifan, Anak Pekerja Serabutan yang Lolos Sekolah Rakyat dan Ingin Jadi Dokter

Ma'rifah Nugraha
0
Sifan Alyori (16). Foto Kemensos.

EDUKASIA.ID - Tak pernah terbayang bagi Sifan Alyori (16) bisa kembali merasakan suasana sekolah. Dari keluarga sederhana dengan ibu yang tengah berjuang melawan kanker, ia akhirnya lolos ke Sekolah Rakyat dan menyalakan lagi mimpinya menjadi dokter bedah.

“Katanya saya hampir tidak lolos, tapi alhamdulillah akhirnya bisa dan saya bahagia banget," ujar Sifan saat ditemui di Sentra Terpadu Pangudi Luhur (STPL) Bekasi, beberapa waktu lalu, dikutip dari laman Kemensos.

Momen pertamanya masuk Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 13 Bekasi pada 14 Juli lalu masih segar di ingatannya. Ia datang bersama sang ibu dengan menumpang angkutan umum.

Sejak kecil, Sifan hanya tumbuh bersama ibunya. Ayahnya meninggal ketika ia baru berusia empat bulan. Sang ibu menjadi satu-satunya penopang keluarga, meski tengah berjuang melawan kanker perut.

"Kalau ada yang butuh bantuan bersih-bersih, Ibu kerjakan. Jadi serabutan, apa saja yang ada,” kata Sifan.

Di tengah keterbatasan itu, Sifan tetap berusaha membantu pekerjaan rumah sekaligus tekun belajar. Ia banyak membaca buku pinjaman sekolah. Dari situlah semangatnya untuk melanjutkan pendidikan semakin kuat hingga akhirnya ia mengenal program Sekolah Rakyat.

Program yang digagas Presiden Prabowo Subianto melalui Kementerian Sosial ini langsung membuatnya kaget.

"Karena sebelumnya ada sekolah lain yang biaya masuknya besar, sementara saya dan ibu kurang mampu. Jadi hadirnya Sekolah Rakyat itu seperti jawaban doa,” ungkapnya.

Namun, sang ibu sempat diliputi keraguan. Baginya, sulit dipercaya ada sekolah gratis dengan fasilitas lengkap tanpa biaya sepeser pun.

“Awalnya ibu mikir-mikir, kayak ini beneran enggak? Kayak terlalu ajaib ada sekolah gratis. Saya yang meyakinkan ibu sampai akhirnya setuju,” tutur Sifan.

Cita-cita besarnya adalah menjadi dokter bedah ortopedi. Ia bahkan sudah menimbang jalur pendidikan tinggi, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

"Kalau di luar negeri saya ingin ke Universitas Yonsei, Korea. Kalau di Indonesia mungkin UI atau UGM,” katanya penuh tekad.

Meski sadar jalan menuju impian itu panjang, ia tak gentar. Kondisi ekonomi keluarga membuatnya sempat berpikir realistis: bekerja dulu bila gagal masuk Sekolah Rakyat.

"Kalau tidak masuk Sekolah Rakyat, mungkin saya berhenti setahun, kerja dulu untuk kebutuhan sehari-hari dan kumpulin uang buat sekolah. Saya pernah bantu-bantu markir, jadi tukang cuci piring, jualan es, pokoknya apa saja yang bisa dilakukan,” ucapnya.

Kini, ia hanya ingin terus disiplin dan menjaga seangat belajar.

“Harapan untuk diri saya sendiri tuh tetap bertahan, harus disiplin, semangat belajar, dan terus menggapai cita-cita,” tegas Sifan.

Di sisi lain, doa terbesarnya adalah untuk kesehatan sang ibu.

“Saya ingin bisa membahagiakan Ibu dan suatu saat membawa beliau ke Tanah Suci,” harapnya.

Cerita Sifan menjadi potret bagaimana Sekolah Rakyat bukan sekadar ruang belajar, tetapi juga pintu harapan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.

Hingga 2025, pemerintah menargetkan sekolah ini berdiri di 165 titik dengan kapasitas lebih dari 15 ribu siswa. Prinsipnya jelas: setiap anak berhak atas masa depan yang lebih baik tanpa terkendala garis kemiskinan.

Posting Komentar

0 Komentar

Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top