Es Teler Teko dan Sekolahmu

HM. Miftahul Arief
0
Ilustrasi es teler teko. Foto AI.

HM. Miftahul Arief, Pemred EDUKASIA.ID/ Kandidat Dokter Pemasaran Pendidikan Islam

EDUKASIA.ID
-Beberapa minggu ini, linimasa riuh oleh minuman Es Teler Teko. Jujur, siapa sih yang nggak tergiur lihat es batu menumpuk, buah warna-warni, dan wadahnya itu lho, harganya 20 ribuan saja, teko besar!

ck ck ck.. keren. Ini marketing out of the box. Minuman biasa, yang tadinya cuma disajikan di gelas plastik, mendadak jadi event yang wajib di-story-kan. Efeknya? FOMO (Fear of Missing Out) langsung menjalar. Semua orang beli.

Tapi, jujurly..  pas nyeruput dan sendok isinya, khususnya yang di viral-viral itu, apa yang paling banyak? Sekilas didominasi es batu, jeli, dan sirup, kan? Alpukat, nangka, atau degannya? Banyak yang bilang hanya secuil. Creamy dan kejunya banyak, tapi grade apa gak tahu.

Eh, Yang kita beli ternyata bukan rasa, tapi tampilan. Kita beli ramainya, bukan mutunya.

Ini yang saya sebut ‘Es Teko Effect’: Kehebohan visual yang menciptakan value semu.

Fenomena kayak gini bukan barang baru, Guys. Dulu kita pernah heboh sama Bakso Beranak. Satu bakso gede, di dalamnya ada bakso kecil-kecil, telur, cabai. Sempat viral banget, semua warung ikutan. Kalau papan namanya nggak ada tulisan ‘Bakso Beranak’, rasanya ketinggalan zaman.

Tapi sekarang? Ya sudah biasa. Sudah nggak ada lagi hype -nya. Kenapa? Karena yang bikin kita balik ke warung bakso itu bukan seberapa banyak anaknya, tapi kuah dan tekstur dagingnya. Viral itu urusan sebulan dua bulan. Loyalitas itu urusan rasa yang jujur.

Nah, coba kita zoom out sebentar. Pola ‘Es Teko Effect’ ini nyatanya juga menjangkiti dunia pendidikan.

Ketika Sekolah dan Madrasah Ikutan Hype


Coba lihat ke sekitar kita, terutama menjelang tahun ajaran baru atau musim wisuda.

Wali murid berlomba-lomba memberikan social signal yang ‘wah’. Ada yang kirim karangan bunga uang segede gaban. Ada yang sewa kostum adat lengkap dengan fotografer dan make-up mahal. Semua kayak terpacu untuk tampil paling mentereng. Kalau nggak begitu, rasanya kayak nggak sayang anak, atau takut dibilang nggak kompak.

Di sisi sekolah atau madrasahnya juga nggak jauh beda. Kita disuguhi video profile sinematik yang kualitasnya setara film pendek, baliho-baliho super besar di jalan utama, atau rebranding besar-besaran yang fokusnya di penampilan gedung.

Ini semua adalah strategi Hype Marketing, yaitu berusaha terlihat paling up-to-date dan paling keren. Ini mahal lho investasinya! Tapi pertanyaannya: Apakah semua ‘Teko besar’ ini nyambung sama ‘rasa’ di dalamnya?

Jangan-jangan, kita terlalu sibuk mempercantik tekonya, sampai lupa mengisi airnya.

Sebagai orang yang mendalami manajemen pemasaran pendidikan (disertasi saya menyoroti Urban Marketing Madrasah), saya melihat ini sebagai masalah besar: Kita fokus ke Acquisition (mendapat murid baru lewat hype) dan mengabaikan Retention (mempertahankan murid loyal).

Orang tua yang mendaftar karena terkesima baliho besar, bisa dengan mudah pindah ke sekolah lain yang baliho-nya lebih baru. Kenapa? Karena tidak ada koneksi emosional yang dibangun oleh substansi.

Mereka hanya mencoba-coba, sama seperti kita mencoba Es Teko karena penasaran, bukan karena ketagihan rasanya.

Pendidikan itu bukan jualan bakso yang bisa diganti-ganti tiap minggu. Pendidikan itu investasi jangka panjang.

Loyalitas dan trust dari wali murid itu nggak bisa dibeli pakai pesta wisuda semalam. Ia hanya bisa didapatkan lewat pengalaman yang konsisten: anak nyaman belajar, guru jujur mengajar, dan karakter siswa terbentuk. Itulah RASA yang sesungguhnya.

Tamatlah Sudah Alkisah Kami

Penjual es teko itu sejatinya nggak salah. Mereka justru inovatif dengan memanfaatkan FOMO, karena yang penting dagangan laris saat itu. Nanti ganti tren, mereka juga akan mengikutinya. Mereka berbisnis transaksi.

Masalahnya, sekolah tidak boleh berbisnis transaksi seperti itu. Sekolah harus berbisnis relasi dan loyalitas.

Jadi, kalau memang mau meniru Es Teler, tirulah kesegarannya, bukan trik tekonya.

Kita harus investasi ke isi Teko kita. Artinya, fokus pada upgrading kualitas guru, penajaman kurikulum yang relevan, dan membangun komunitas belajar yang otentik.

Guru inovatif dan sederhana tapi tulus, yang ilmunya mengalir perlahan tapi pasti sampai ke hati anak-anak, itu jauh lebih fresh dan lasting (bertahan lama) dibandingkan seribu billboard janji prestasi tanpa bukti nyata.

Karena yang membuat sesuatu itu benar-benar bernilai dan membuat pelanggan loyal, bukan wadah yang meriah. Tapi isinya, niat di baliknya, dan value yang dirasakan terus menerus.

Mari kita pastikan sekolah kita bukan cuma viral semusim. Kalau pengelola sekolah hanya sekadar memanfaatkan FOMO, siap-siap berdendang Upin Ipin: tamatlah sudah alkisah kami….!

Posting Komentar

0 Komentar

Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top